Memiliki Allah Sebagai Sahabat
Pendeta Eric Chang |
Kita Menginginkan Allah Untuk Mengeluarkan Kita Dari Kesukaran
Allah sebagai Sahabat kita? Konsep kita akan
persahabatan dengan Allah biasanya demikian: Dia menyeret kita keluar
dari situasi yang sulit dimana kita telah jatuh kedalamnya. Dialah
satu-satunya yang dapat menyelamatkan kita dari kesulitan. Ada berapa
banyak di antara kita yang berpikir tentang persahabatan dengan Allah
secara demikian: di dalam situasi hidup atau mati kita berseru kepada
Tuhan, “Tolonglah aku!”?
Baru-baru ini saya membaca sebuah koleksi
kisah-kisah pribadi tentang intervensi (campurtangan) Allah. Salah satu
dari cerita tersebut adalah tentang seorang pendeta di Amerika bagian
barat tengah. Kebetulah istri pendeta itu sedang pergi merawat ibunya
yang sedang sakit keras. Agar bisa mengunjungi istri dan ibu mertuanya,
pendeta ini harus melakukan perjalanan sekitar 17 jam seminggu.
Perjalanan ini, baik ditempuh dengan mobil ataupun bis, tetap akan
sangat melelahkan, karena ini merupakan tugas tambahan dari tugas-tugas
kepastorannya.
Seorang temannya datang menolong di saat yang paling
dibutuhkan. Dia adalah seorang petani yang juga seorang jemaat di
gerejanya, yang memiliki sebuah pesawat kecil yang biasa dia gunakan
untuk menyemprot hama. Ia menawarkan jasa untuk menerbangkan pendeta
itu ke tempat tinggal ibu mertuanya. Akan tetapi pada akhir minggu itu,
sewaktu mereka sedang terbang ke timur, mereka melihat awan yang
menyelimuti mereka semakin menebal. Pesawat kecil itu, yang biasanya
hanya digunakan untuk menyemprot hama, tidak dilengkapi dengan radar.
Navigasinya bergantung sepenuhnya kepada identifikasi pada peta
berdasarkan pengamatan mata telanjang. Tetapi karena awan yang begitu
tebal, mereka tidak mampu lagi untuk melihat arah tujuan mereka. Mereka
harus bergantung kepada kompas dan radio kontak mereka.
Terkadang sewaktu semuanya kelihatan serba salah,
setiap hal lainnya seakan-akan berjalan salah juga. Ketika mereka telah
menempuh lebih dari setengah perjalanan, radio kontak mereka mengalami
masalah. Kemudian mereka memutuskan untuk menghubungi sebuah bandara
kecil terdekat untuk melakukan operasi pendaratan darurat. Tetapi cuaca
pada waktu itu begitu buruknya sehingga menara kontrol di bandara juga
tidak bisa melihat landasan terbang. Para pengawas di menara kontrol
menyarankan mereka untuk mencoba menghubungi bandara yang lain. Pada
saat itu mereka sudah mulai berdoa dengan sungguh-sungguh.
Lalu radio kontaknya mati. Bahan bakar pesawat juga
sudah mulai sangat berkurang, sehingga mereka tidak mempunyai pilihan
lain lagi kecuali menerbangkan pesawat mereka untuk mendarat di tempat
itu juga.
Hanya dengan bergantung kepada kompas dan perkiraan lokasi,
pilot pesawat menerbangkan pesawatnya ke arah yang menurut perkiraannya
adalah lokasi bandara. Dia meminta sang pendeta untuk terus mencari
celah di awan, dengan harapan dia akan dapat melihat bandara itu.
Situasinya menjadi semakin genting, karena tanpa radar atau pedoman
lainnya, melakukan operasi pendaratan dalam jarak penglihatan yang buruk
seperti itu bisa berarti kematian.
Kemudian, sebagai upaya terakhir, dia mencoba
menyalakan radionya lagi. Betapa gembiranya mereka sewaktu mendengar
ada suara dari radio itu. Suara yang hangat dan ceria itu berkata, “Aku
dengar engkau. Ikutilah saja instruksi-instruksiku. Turunkan
pesawatmu. Sekarang putar ke kiri sedikit. Mantapkan sayap-sayapmu…”
Akhirnya, setelah turun cukup dekat dengan tanah, sekarang mereka dapat
melihat landasannya. Betapa lega dan gembiranya hati mereka setelah
berhasil mendarat! Mereka telah lolos dari maut.
Sesudah itu mereka pergi ke menara kontrol untuk
berterima-kasih kepada para pengawas di sana atas bantuan mereka di
dalam memberikan instruksi-instruksi yang begitu baik sehingga dapat
mendarat dengan selamat. Namun jawaban yang mereka terima betul-betul
membuat bulu kuduk mereka berdiri. Para pengawas itu berkata,
“Instruksi apa? Kami kehilangan kontak radio dengan kalian sewaktu
kalian berada di atas Carolina Utara, dan semenjak itu kami tidak lagi
mempunyai kontak dengan kalian.” Mereka memandang satu sama lain:
Siapakah yang telah memberikan instruksi-instruksi tersebut? Tiba-tiba
mereka menyadari kalau suara yang berbicara kepada mereka itu bukanlah
suara manusia biasa.
Allah adalah sahabat dalam kesulitan. Mereka tidak
tahu siapa lagi selain Tuhanlah yang memberikan instruksi tersebut. Ini
adalah kisah nyata seperti yang telah disaksikan oleh pendeta itu
sendiri. Bagi mereka yang berjalan dengan Allah, pengalaman intervensi
Allah seperti ini bukanlah hal yang luar biasa. Bagi mereka yang tidak
berjalan dengan Allah, pengalaman-pengalaman seperti inilah yang
mengherankan, hampir-hampir sangat sulit dipercaya.
Ingatlah akan perumpamaan Orang Samaria yang baik
hati. Tuhan Yesus yang mengajarkan perumpamaan ini tentu saja
mempraktekkanNya Sendiri. Jikalau anda berada dalam situasi yang gawat,
bukankah Tuhan Yesus akan datang menolong? Jika anda dengan tulus hati
berseru kepadaNya, tentu saja Dia akan menolong. Dia akan melakukan
apa saja yang diperlukan untuk menolong kita, meskipun ini berarti Dia
harus berbicara kepada kita melalui radio and menuntun kita ke bandara
dan ke landasan dengan selamat.
Sahabat Seperti Apakah Yang Dicari Oleh Allah?
Akan tetapi pokok persoalannya sekarang bukanlah tentang Tuhan Yesus
yang akan datang menolong bila anda berada dalam kesulitan atau tidak.
Pokok persoalan sebenarnya adalah: apakah pengalaman intervensi itu
dapat membawa kita ke dalam suatu hubungan persahabatan denganNya? Ini
adalah persoalan yang sangat berbeda, dan inilah yang saya ingin anda
perhatikan hari ini.
Marilah sekali lagi kita pikirkan tentang Orang
Samaria yang baik itu. Ada seseorang yang dirampok dalam perjalanannya
ke Yerikho. Dia dipukul sampai babak-belur dan seluruh harta miliknya
dirampas, lalu ditinggalkan dalam keadaan sekarat. Kemudian datanglah
seorang Samaria ini yang memberi belas kasihan kepada orang yang terluka
parah itu dan menolongnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dia
menaikkan orang itu ke atas keledainya, membawanya ke sebuah rumah
penginapan dimana dia dapat dirawat, dan membayar segala biaya yang
diperlukan. Sekarang pertanyaan yang perlu kita renungkan hari ini
adalah: Apakah korban perampokan ini menjadi sahabat orang Samaria itu
pada akhirnya?
Apakah di akhir kejadian tersebut kedua orang itu
tidak pernah berhubungan lagi? Setelah korban siuman dan menyadari
bahwa orang Samaria itu telah menyelamatkan nyawanya (karena kalau orang
Samaria itu membiarkannya terbaring di jalanan, tentu saja dia akan
meninggal akibat kehilangan banyak darah dari luka-lukanya), apakah dia
berusaha untuk menemukan orang Samaria itu? Jika tidak, ia tidak akan
dapat bersahabat dengan orang itu. Orang Samaria itu sebenarnya telah
meninggalkan beberapa petunjuk yang dapat dimanfaatkan oleh sang
korban. Orang Samaria itu memberitahu pemilik rumah penginapan bahwa
pada saat dia kembali, dia akan melunaskan segala biaya tambahan yang
telah dikeluarkan jika uang yang dia tinggalkan tidak cukup untuk
menutupi biaya perawatan bagi sang korban. Di sini kita bisa melihat
bahwa orang Samaria itu bukanlah seorang yang sekali-sekali saja
melewati jalanan ke Yerikho itu. Dia adalah seorang yang kerap kali
melewati jalanan itu, dan dia akan kembali lagi. Jadi kalau orang
Yahudi yang terluka ini yang telah diselamatkan oleh orang Samaria itu
ingin menjalin persahabatan dengannya, dia dapat menunggu atau
menanyakan alamat orang Samaria itu kepada pemilik rumah penginapan,
atau meninggalkan alamatnya sendiri dengan pesan agar orang Samaria itu
menghubunginya.
Kita Memperalat Allah
Berapa banyak orang yang setelah mengalami kebaikan Allah, mau
peduli untuk melanjutkan pengalaman itu dengan menjalin persahabatan
erat dengan Allah? Ketika saya mengalami belas kasihan Allah di Cina,
dimana Dia mengangkat saya dari situasi hidup dan mati, saya menyadari
bahwa Dia adalah sahabat yang paling berharga. Semenjak hari itu saya
terus mengejar persahabatan denganNya.
Namun saya melihat banyak orang Kristen yang tidak
melakukan hal itu. Mereka sudah puas mempunyai hubungan dengan Allah
yang sama seperti hubungan dengan orang Samaria itu. Mereka tidak
menginginkan campur tangan Allah di dalam hidup mereka lebih daripada
itu. “Kalau aku memerlukan Allah, aku akan memanggilNya. Tetapi kalau
aku tidak memerlukanNya, maaf, jangan turut campur.”
Perlakuan macam apa ini? Ini bisa dikatakan hanya
sekedar memperalat Allah disaat anda memerlukanNya. Biarlah saya
mengatakan dengan jelas kepada anda hari ini, berdasarkan Kitab Suci,
jika anda memperlakukan Allah seperti itu, anda tidak akan dapat menjadi
sahabatNya.
Persahabatan Dengan Allah Tergantung Kepada Anda
Apakah anda sahabat Allah? Sebenarnya, hal ini tidak tergantung
kepadaNya. Hal ini tergantung kepada anda apakah anda ingin menjalin
persahabatan denganNya.
Jika anda mau, ada beberapa syarat penting yang
harus ditaati. Persahabatan semacam ini bukanlah suatu persahabatan
tanpa syarat. Satu syaratnya sangat jelas: apakah anda mengejar
persahabatan ini? Apakah persahabatan ini begitu pentingnya bagi
anda? Atau apakah anda sudah puas seperti mayoritas orang-orang Kristen
yang berkata, “Aku cukup berkenalan saja dengan Allah sehingga setiap
kali aku berada dalam situasi yang kacau-balau, Dia bisa datang
menyelamatkanku.” Terkadang kita memerlukan Dia lebih daripada itu:
misalnya untuk mengetahui profesi apa yang harus dipilih, pekerjaan apa
yang harus dilamar, atau untuk melindungi kita disaat kita sendirian di
luar. Allah sepertinya menyediakan pelayanan ramalan gratis, asuransi
hidup gratis dan jasa pengawalan! Di saat anda berjalan melalui lorong
gelap, tiba-tiba anda teringat Allah. Tetapi sewaktu anda berada di
jalan raya beberapa menit sebelumnya, anda tidak pernah memikirkanNya.
Bukankah ini realitas kehidupan kita?
Kita memperalat Allah. Apakah seorang sahabat itu
ada supaya bisa diperalat? Apakah itu pengertian kita akan
persahabatan? Saya berkata kepada anda: Allah tidak menginginkan
sahabat yang demikian. Apakah anda menginginkan sahabat seperti itu?
Saya katakan kepada anda dengan jelas: jikalau ini cara anda berhubungan
dengan Allah, anda tidak akan memiliki Allah sebagai sahabat anda.
Anda hanya memperalat Dia untuk memenuhi kepentingan diri anda sendiri.
Dan jikalau Allah menyetujui sikap seperti ini, Dia hanya membuat anda
semakin egois, dan itulah sebabnya ada orang-orang Kristen yang lebih
egois daripada orang-orang bukan Kristen. Saya tidak menyalahkan
orang-orang bukan Kristen itu yang memandang rendah orang-orang Kristen,
yang hanya menganggap Allah sebagai semacam alat pertolongan darurat
setiap saat anda memerlukanNya. Saya setuju: itu adalah hal yang
memalukan!
Dua Jenis Persahabatan
Ada dua jenis persahabatan. Jenis yang pertama tidak bisa disebut
persahabatan menurut definisi alkitabiah. Persahabatan yang demikian
hanyalah mencari kepentingan diri sendiri: untuk mendapatkan segala apa
yang diinginkan seseorang dari orang lain. Ini adalah jenis
persahabatan yang sangat populer di kalangan kaum muda. “Aku cinta
kamu” berarti saya senang dengan apa yang bisa saya dapatkan dari anda.
Saya suka dengan apa yang anda miliki dan saya menginginkannya. Jadi
kalau anda kaya, anda mempunyai banyak teman. Teman-teman anda
menyayangi anda karena uang anda. Tunggu saatnya anda tidak mempunyai
sesenpun, maka anda akan bertanya-tanya kemanakah perginya teman-teman
anda itu. Hal yang sama juga terjadi di antara para pemuda dan pemudi.
Mereka mencari sesuatu dari lawan jenisnya, mungkin kepuasan hawa
nafsunya. Dan setelah mereka mendapatkannya, mereka tidak memerlukan
lawan jenisnya itu lagi.
Apakah ini yang disebut cinta? Anda bisa
mendapatkan jenis persahabatan seperti ini juga di antara para
gangster. Merampok bank seorang diri saja bukanlah hal yang gampang.
Karenanya anda memerlukan satu komplotan yang terdiri dari empat atau
lima orang. Kalau terjadi masalah di dalam pembagian harta rampokan,
anda hanya perlu membunuh beberapa dari mereka. Akan tetapi selama
masih adanya kecocokan di dalam hubungan kerja-sama tersebut, anda akan
tetap menjaga persahabatan itu. Semuanya ini adalah jenis persahabatan
yang mencari keuntungan diri sendiri.
Hal yang menarik disini ialah kita tahu kalau kita sendiri tidak menginginkan sahabat seperti itu. Akan tetapi kita sendiri ingin menjadi
sahabat semacam itu. Hal ini disebabkan oleh pembawaan lahiriah
manusia yang egois. Jika Allah setuju untuk bersahabat dengan anda yang
egois, Dia hanya akan mendorong sikap keegoisan anda. Itulah sebabnya
kalau seorang Kristen tetap berfungsi secara egois, doa-doanya tidak
akan dijawab oleh Allah, dan Allah sepertinya terasa tidak dekat. Allah
tidak mau mendorong sikap keegoisan. Manusia itu egoisnya setengah
mati.
Renungkanlah pokok berita di bawah ini:
Hanya beberapa hari yang lalu saja, saya membaca sebuah pokok berita di suratkabar: “Seorang warga di Texas membunuh anak laki-lakinya gara-gara tayangan pertandingan sepakbola”. Orang itu membunuh anak laki-lakinya hanya karena siaran televisi! Waktu itu dia sedang menonton permainan bola ‘Dallas Cowboys’ dan anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun membuat terlalu banyak keributan. Ibunya sedang keluar saat itu. Oleh karena dia tidak bisa menikmati pertandingan sepakbola itu dengan tenang, dia menghantam perut anaknya yang masih kecil itu berkali-kali. Dia memukul anaknya dengan begitu kerasnya sehingga hati dan ginjalnya hancur. Akibatnya anak itu meninggal dunia. Sesungguhnya setiap orangtua menyayangi anak-anaknya bukan? Bahkan sebenarnya, ayah anak itu menamai anaknya sama dengan namanya sendiri. Dengan kata lain, dia menginginkan anaknya persis menjadi citra dirinya sendiri. Kedua nama mereka itu sama: yang satunya senior, yang satunya lagi junior. Akan tetapi identifikasi nama dengan sang ayah itu rupanya masih belum cukup untuk menyelamatkan nyawa sang anak.
Di suratkabar yang lain, saya membaca satu laporan
yang mencengangkan, tentang dua anak laki-laki yang membiarkan ibu
mereka mati kelaparan. Artikel itu tidak menjelaskan alasannya. Wanita
malang itu dibelenggu dan dibiarkan mati kelaparan. Wanita yang
tingginya sekitar 1,63 meter itu hanya mempunyai berat badan sekitar 27
kg ketika ditemukan oleh polisi. Dia bisa ditemukan oleh polisi karena
sebelum dia meninggal, dia berhasil menelepon operator untuk meminta
pertolongan. Ketika polisi tiba dan melarikannya ke rumah sakit,
nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Dia sudah terlalu kelaparan untuk
dapat diselamatkan. Kedua anak laki-lakinya yang berusia 25 dan 22
tahun, dituduh dengan pembunuhan tingkat pertama.
Ada lagi kasus lain yang ditayangkan di televisi:
seorang gadis menegaskan bahwa tunangannya dibunuh oleh dua orang
laki-laki. Dia menangis dan memohon bantuan pertolongan untuk menangkap
para pembunuhnya. Dia mengatakan bahwa setelah makan malam bersama,
mereka mengendarai mobil melewati jalanan yang sepi. Tetapi ketika
mobil mereka mendahului mobil yang lain, pengendara di mobil yang lain
itu menjadi sangat marah sehingga mereka dihampiri dan tunangannya
ditikam sampai mati. Akan tetapi setelah diselidiki, pihak kepolisian
menuduh gadis itu sebagai sang pembunuh. Seluruh cerita itu telah
dikarang oleh gadis ini, dan ia sendirilah yang telah membunuh
tunangannya, dengan alasan yang tidak diberikan.
Di dalam suratkabar yang sama di artikel yang lain,
seorang dokter melemparkan istrinya dari jendela lantai ketiga karena
dia telah kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Sang istri lalu
dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Pada saat laporan itu
dimuat, kondisi sang istri masih belum jelas.
Apakah anda dapat memahami semuanya ini: seorang
ayah yang membunuh anaknya sendiri, anak membunuh ibunya, seorang gadis
membunuh tunangannya, suami mencoba membunuh istrinya? Dunia macam
apakah yang kita tinggali ini? Kasus-kasus diatas mungkin merupakan
kasus-kasus yang ekstrim, akan tetapi kasus-kasus tersebut mencerminkan
keegoisan ekstrim di hati manusia.
Di dalam seluruh hubungan antar manusia ada tingkat
pengkhianatan yang betul-betul di luar dugaan. Setiap kasus di atas
membuat saya berpikir: apakah mungkin bagi manusia untuk menjalin
persahabatan satu dengan yang lain? Jikalau hubungan terdekat antara
manusia saja masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar persahabatan,
lalu apa lagi yang bisa dijadikan dasar persahabatan?
Apakah Ada Persahabatan Dimana Masing-Masing Saling Memberi?
Apakah ada yang namanya persahabatan dimana masing-masing saling memberi? Apakah mungkin ada hubungan sejati di antara para manusia? Kalau tidak mungkin, maka pembicaraan tentang persahabatan ini sama saja dengan membuang-buang waktu.
Anda harus mengerti bahwa sifat dasar manusia
memerlukan transformasi radikal sebelum anda dapat membicarakan
persahabatan. Di dalam hubungan dimana masing-masing mencari
kepentingan diri sendiri, setiap orang ingin mengambil keuntungan dari
yang lainnya, dan pada akhirnya, tak ada seorangpun yang merasa puas.
Di dalam hubungan dimana masing-masing saling memberi, kedua belah pihak
akan mempunyai lebih dari cukup. Itu kedengarannya logis, tetapi di
dalam praktek hal ini sangat sulit dilakukan. Namun ini adalah
satu-satunya jenis persahabatan yang diingini Allah.
Itulah inti dari pesan saya hari ini. Kalau anda
lupa akan segala hal yang telah saya katakan, anda hanya perlu mengingat
satu hal ini saja. Allah mencari sahabat-sahabat. Di dalam sejarah
ribuan tahun, hanya sedikit sekali yang Dia temukan. Itulah sebabnya
orang-orang yang disebut sahabat Allah di dalam Perjanjian Lama dapat
dihitung dengan beberapa jari saja. Orang-orang seperti Abraham,
misalnya, atau Nuh atau Musa, sebagai sahabatNya. Setelah ditambah
beberapa nabi lain, kita sudah kehabisan nama-nama. Orang-orang yang
sedikit jumlahnya ini telah diakui sebagai sahabat-sahabat Allah. Itu
berarti Allah adalah sahabat mereka. Tetapi setelah berabad-abad
kemudian, jumlahnya tidak banyak bertambah.
Ini merupakan suatu hal yang juga menyedihkan bagi
saya. Apa gunanya mempunyai gereja yang dipenuhi orang namun tak
seorangpun dari mereka adalah sahabat Allah? Ada berapakah sahabat
Allah yang hidup sekarang ini? Ada berapakah orang yang telah memenuhi
persyaratan menjadi sahabatNya?
Dia telah memberikan persyaratan-persyaratan itu
dengan jelas kepada kita, melalui ayat-ayat yang sudah begitu dikenal
oleh setiap orang Kristen sehingga saya rasa tidak perlu lagi dikutip
referensinya. Contohnya, Lukas 10:27 atau Markus 12:30-31,
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Karenanya
janganlah berkata kalau anda tidak tahu persyaratan menjadi sahabat
Allah. Allah tidak dapat menerima apa yang lebih rendah dari
persyaratan ini.
Allah telah menerangkan dengan jelas sekali bahwa
hanya ada satu cara saja yang dapat membuat kita menjadi sahabatNya.
Hal ini tidak berarti bahwa Dia tidak akan menolong kita jika kita bukan
sahabatNya. Demikianlah kemurahan hati Allah sehingga Ia tetap
menolong kita meskipun kita tidak memenuhi persyaratanNya. Itulah
kebaikkanNya. Akan tetapi kenyataan bahwa Dia menolong anda bukan
berarti anda adalah sahabatnya. Allah menawarkan persahabatanNya, akan
tetapi seperti yang bisa dilihat baik di Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, Dia telah mengatakan dengan sangat jelas, “Jika engkau
ingin menjadi sahabatKu, engkau harus mengasihiKu dengan segala apa yang
engkau miliki.”
Hal itu berarti harus ada suatu perubahan di dalam
diri kita. Egoisme kita harus mati. Keegoisan itu harus dilepaskan.
Sekarang akan saya katakan hal ini: ada orang-orang yang di waktu lalu
telah melepaskan keegoisan mereka – yaitu apa yang disebut dengan
kematian terhadap egoisme – akan tetapi setahun demi setahun, mereka
mulai menarik kembali egoisme mereka. Sayang sekali hal yang demikian
harus terjadi. Ada yang berkeputusan bahwa harga yang harus dibayar
untuk melayani Tuhan itu terlalu tinggi, persahabatan dengan Allah itu
terlalu tinggi harganya, dan akhirnya mereka kembali lagi ke hal-hal
keduniawian. Sayang sekali hal yang demikian juga harus terjadi. Saya
dapat katakan kalau setiap dari kami yang berada di dalam pelayanan
full-time pernah dicobai seputar masalah ini. Kami merasa harga yang
telah kami bayar terlalu tinggi. Mungkin kami perlu mundur sedikit.
Kemudian kami dengar kata-kata dari Ibrani 10:38, “Apabila ia
mengundurkan diri maka Aku tidak berkenan kepadanya.”
Model Persahabatan Antara Yonatan Dan Daud
Berbicara mengenai persahabatan, gambaran persahabatan yang paling jelas di Alkitab adalah persahabatan antara Yonatan dan Daud. Saya mendorong setiap orang Kristen untuk membaca kisah mereka dengan sangat teliti, ke tujuh pasal dari 1 Samuel 18-24. Setiap orang Kristen harus berulang kali membacanya. Komitmen mereka yang mutlak dan pemberian diri mereka untuk satu sama lain itu sudah begitu terkenal. Akan tetapi kebanyakan orang Kristen tidak menyadari kalau gambaran tersebut sebenarnya adalah model dari persahabatan yang seharusnya ada di antara orang Kristen dengan Tuhan Yesus. Itulah sebabnya begitu banyak pasal-pasal di Alkitab yang mencurahkan perhatiannya kepada persahabatan ini. Persahabatan ini tidak dimaksud untuk menggambarkan suatu hubungan yang luar biasa, tetapi hubungan yang normal antara setiap orang Kristen dengan Tuhan.
Mari saya jelaskan:
Jika anda membaca persyaratan yang diberikan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi muridNya, anda akan menyadari kalau persyaratan itu sama dengan apa yang tertulis di Ulangan 6:5, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan segenap kekuatanmu.” Oleh sebab itu ketika Tuhan Yesus berkata, seperti di Matius 10:37, “Barangsiapa yang mengasihi bapa atau ibunya lebih daripadaKu, ia tidak layak bagiKu”, Ia sebenarnya mengatakan hal yang sama. Engkau harus mengasihiKu dengan segala apa yang engkau punya, dan itu berarti jika engkau mengasihi siapapun lebih dariKu, engkau belum mengasihiKu sama sekali.
Bila anda melihat hubungan antara Yonatan dan Daud,
anda akan melihat bahwa Yonatan tidak mengasihi ayahnya lebih daripada
Daud. Yonatan mengakui bahwa Daudlah, dan bukan ayahnya, yang diurapi
Allah. Kata bahasa Ibrani ‘Mesias’ dan kata bahasa Yunani ‘Kristus’
berarti ‘Yang Diurapi’. Yesus adalah keturunan Daud. Sebagai nenek
moyang Kristus, Daud sering digunakan sebagai lambang Kristus sang
Mesias. Dengan kata lain, di dalam menjalin hubungan dengan Daud,
Yonatan menjalin hubungan dengan Kristus.
Tuhan juga berkata bahwa ia yang mengasihi anaknya
laki-laki atau perempuan lebih daripadaNya, tidak layak bagiNya (Matius
10:37). Yonatan tidak mengasihi anak laki-laki dan perempuannya lebih
daripada Daud. Bahkan dia juga tidak mengasihi dirinya sendiri lebih
daripada Daud. Dia menyangkal dirinya untuk mengasihi Daud. Dengan
cara bagaimana? Begini, sebagai anak Saul, raja Israel, dia adalah
seorang putra mahkota, pewaris tahta kerajaan. Tetapi demi mendukung
Daud, dia rela menyerahkan hak tahta kerajaannya, dan juga hak tahta
kerajaan anak-anak dan cucu-cucunya.
Di Matius 10:38 Yesus berkata, “Barangsiapa yang tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagiKu”.
Persahabatan antara Yonatan dengan Daud merupakan beban yang berat bagi
Yonatan karena hal ini membangkitkan amarah ayah Yonatan terhadapnya.
Ayahnya menjadi sangat berang dan memaki-maki dia karena kesetiaannya
dan persahabatannya dengan Daud. Bahkan ayahnya begitu marah dengannya
sehingga Yonatan harus mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk mengasihi
Daud. Sama seperti kasus ayah yang membunuh anaknya sendiri, Saul juga
mempunyai masalah dengan anaknya. Dia dapat melakukan hal yang sama.
Tuhan juga berkata di Matius 16:24, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku.”
Itulah yang dilakukan oleh Yonatan. Dia ingin mengikuti Daud, walaupun
dia sendiri adalah seorang putra mahkota. Dia berkata kepada Daud,
“Apabila engkau menjadi raja, biarkanlah aku menjadi tangan kananmu.”
Dia sendiri adalah seorang calon raja, namun dengan gembira dia
menyerahkan tahtanya kepada Daud. “Aku akan berdiri di sebelah kananmu
sebagai pengikutmu, sebagai hambamu.” Inilah yang disebut persahabatan
yang ditandai oleh pengorbanan diri. Sebelumnya, Yonatan bahkan
menanggalkan baju baja, pedang serta topi bajanya dan menyerahkan
semuanya itu kepada Daud. Ini suatu tindakan yang menunjukkan
pengorbanan tertinggi seorang prajurit militer, dengan menyerahkan
miliknya yang terbaik dan paling berharga untuk sahabatnya.
Selanjutnya, baju baja Yonatan bukanlah baju baja seorang prajurit
biasa, melainkan baju baja seorang putra mahkota. Dengan menyerahkan
baju bajanya, dia menyerahkan kedudukannya kepada Daud.
Di Lukas 9:26 Yesus berkata, “Sebab barangsiapa
malu karena Aku dan perkataanKu, Anak Manusia juga akan malu karena
orang itu, ketika Ia datang kelak dalam kemuliaanNya.” Yonatan sama
sekali tidak malu oleh karena Daud. Jangan dikira mudah bagi Yonatan
untuk tidak malu oleh karena Daud. Daud pada waktu itu adalah seorang
yang berada di luar perlindungan hukum, seorang yang tak berarti.
Bahkan untuk Saul dia adalah seorang kriminal. Daud melarikan diri
karena Saul telah berulang-kali berusaha membunuhnya. Meskipun telah
diperlakukan sebagai seorang yang tidak berarti, Yonatan tidak pernah
malu memberitahu ayahnya bahwa dia mengasihi Daud. Dia bahkan berusaha
meyakinkan ayahnya untuk menerima kembali Daud.
Model Pembinaan Murid – Persahabatan Yang Ditandai Oleh Pengorbanan Diri
Disini kita lihat model dari pembinaan murid: persahabatan yang ditandai oleh pengorbanan diri. Persahabatan yang demikian itu amat sangat indah.
Inilah intisari kisah persahabatan Yonatan – Daud di
dalam Alkitab. Jika anda merasa sulit memahami istilah-istilah
Alkitabiah tentang ‘penyangkalan diri sendiri’, pemikulan salib
sendiri’, lihatlah kisah Yonatan – Daud. Tuhan Yesus sepertinya berkata
kepada kita, “Jika engkau ingin menjadi muridKu, engkau harus belajar
dari Yonatan dan Daud. Jika engkau tidak mau menjadi seperti Yonatan,
engkau tidak layak untuk menjadi muridKu.”
Allah ingin menjadi sahabat kita, suatu kehormatan
yang tidak diberikan kepada malaikat-malaikat. Tetapi persahabatan
adalah suatu hubungan dua arah. Menjadi muridNya berarti menjadi
sahabatNya. Hanya ada satu macam manusia saja yang Allah inginkan untuk
menjadi sahabatNya – seorang manusia yang mau menyingkirkan
keegoisannya dan mengasihi Yesus dengan segenap hatinya, seperti
Yonatan. Dan kemudian anda akan mengalami suatu kehidupan baru dan
persahabatan dengan Allah yang tidak pernah anda bayangkan mungkin
terjadi. Dan anda akan menjadi satu dari contoh yang sangat langka di
dalam sejarah manusia yang dapat disebut sahabat-sahabat Allah. Anda
akan menjadi satu dari sedikit bintang-bintang di atas cakrawala rohani
yang seperti Abraham dan Musa.
Komentar
Posting Komentar