Kepada Nicholas Sean Purnama
KEPADA NICHOLAS SEAN PURNAMA
Terimakasih Nicholas, kamu dengan ikhlas mewakafkan ayahmu untuk Indonesia. Mungkin kami semua perlu terus belajar bagaimana semestinya hidup bernegara. Bagaimana merawat ibu pertiwi. Agar tidak ada lagi kebencian yang bisa membunuh putera terbaiknya sendiri.
Mungkin esok pagi engkau tidak bisa sarapan lagi bersama ayahmu. Di meja makan itu, engkau dan adik-adikmu akan duduk terdiam, memandang kursi yang kini kosong.
Sementara ibumu mencoba terus menghibur, menguatkan hatimu dan adik-adikmu. Tapi tahukah kamu, di tengah kata-kata hiburannya matanya masih terlihat sembab. Dia pasti heran, bagaimana mungkin suaminya yang setiap detik waktunya dihabiskan untuk memikirkan rakyat Jakarta, kini harus meringkuk dalam sel yang dingin.
Nick, bersabarlah. Hari minggu ini engkau tidak bisa lagi menikmati libur kecil bersama ayahmu. Dan hari-hari menjadi begitu kosong. Mungkin kamu akan ke gereja. Berdoa sebisanya. Sebab hanya itulah yang bisa kamu lakukan, untuk membunuh ras rindu pada ayahmu.
Meskipun biasanya ayahmu terlalu sibuk mengurus pekerjaan dan rakyat Jakarta, kamu masih bisa menelepon untuk menanyakan kabarnya, bukan? Tapi, apakah esok hari kamu bisa meneleponnya lagi, sekadar bertanya, apakah ayah sudah makan?
Terimakasih Nicholas, yang mau menjaga Daud, adik bungsumu. Kami mendapat khabar dia menderita demam tinggi sesaat setelah mendengar ayahnya diputuskan bersalah oleh hakim. Doa kami untuknya, untukmu, untuk ibumu.
Kami membayangkan, bagaimana nanti kamu dan adik-adikmu ingin melepas rindu dengan ayahmu. Pagi-pagi jalan dari rumahmu menuju Cipinang. Antri di muka petugas. Diperiksa barang bawaanmu. Lalu kamu menunggu, duduk di atas kursi kecil dengan permukaan meja yang somplak. Bagaimanakah wajah ayahmu, hari ini?
Terimakasih Nicholas atas ketabahanmu menahan bayangan setiap malam. Bagaimana engkau bisa tidur malam ini di kamarmu, sementara engkau tidak tahu dalam kondisi seperti apa ayahmu tidur setiap malam?
Terimakasih, Nicholas. Terimakasih atas pengertianmu yang luar biasa pada Indonesia yang masih sakit ini. Ayahmu telah dihukum dengan tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya.
Tapi, kami tahu, bagaimana cara menempatkan nama ayahmu dalam ingatan kami. Setiap menyaksikan kali-kali Jakarta yang bersih, kami akan membaca dengan jelas ada jejak ayahmu di sana. Setiap menyaksikan simpan susun Semanggi, jejak ayahmu tidak bisa dihapuskan.
Bagi Bu Endang, yang tadi pagi sesegukan di atas kursi rodanya sehabis mendengar keputusan hakim, setiap tangannya menyentuh roda-roda untuk membantunya bergerak, dia tahu, di sana ada jejak ayahmu juga.
Setiap kali pembahasan APBD yang sistemnya dibuat sedemikian rupa, hingga para pencoleng kebingungan menyikat isi brankas, kami tahu pasti, ada jejak ayahmu di kunci brankas itu. Ayahmu yang membuat sistem agar duit rakyat tidak mudah digunakan untuk foya-foya para bandit.
Jejak-jejak ayahmu di Jakarta terlalu kuat untuk dihapuskan dengan ketukan palu sidang. Terlalu pekat untuk dihilangkan dengan kurungan penjara.
Jejak-jejak itu, membekas di dalam ingatan kami. Dalam kepala banyak orang yang lain.
Terimakasih Nicholas, terimakasih telah mewakafkan ayahmu pada kami. Agar kami bisa terus belajar darinya, bagaimana mencintai Indonesia dengan hati yang penuh. Dan senyum yang tak lekang itu...
www.ekokuntadhi.com
Terimakasih Nicholas, kamu dengan ikhlas mewakafkan ayahmu untuk Indonesia. Mungkin kami semua perlu terus belajar bagaimana semestinya hidup bernegara. Bagaimana merawat ibu pertiwi. Agar tidak ada lagi kebencian yang bisa membunuh putera terbaiknya sendiri.
Mungkin esok pagi engkau tidak bisa sarapan lagi bersama ayahmu. Di meja makan itu, engkau dan adik-adikmu akan duduk terdiam, memandang kursi yang kini kosong.
Sementara ibumu mencoba terus menghibur, menguatkan hatimu dan adik-adikmu. Tapi tahukah kamu, di tengah kata-kata hiburannya matanya masih terlihat sembab. Dia pasti heran, bagaimana mungkin suaminya yang setiap detik waktunya dihabiskan untuk memikirkan rakyat Jakarta, kini harus meringkuk dalam sel yang dingin.
Nick, bersabarlah. Hari minggu ini engkau tidak bisa lagi menikmati libur kecil bersama ayahmu. Dan hari-hari menjadi begitu kosong. Mungkin kamu akan ke gereja. Berdoa sebisanya. Sebab hanya itulah yang bisa kamu lakukan, untuk membunuh ras rindu pada ayahmu.
Meskipun biasanya ayahmu terlalu sibuk mengurus pekerjaan dan rakyat Jakarta, kamu masih bisa menelepon untuk menanyakan kabarnya, bukan? Tapi, apakah esok hari kamu bisa meneleponnya lagi, sekadar bertanya, apakah ayah sudah makan?
Terimakasih Nicholas, yang mau menjaga Daud, adik bungsumu. Kami mendapat khabar dia menderita demam tinggi sesaat setelah mendengar ayahnya diputuskan bersalah oleh hakim. Doa kami untuknya, untukmu, untuk ibumu.
Kami membayangkan, bagaimana nanti kamu dan adik-adikmu ingin melepas rindu dengan ayahmu. Pagi-pagi jalan dari rumahmu menuju Cipinang. Antri di muka petugas. Diperiksa barang bawaanmu. Lalu kamu menunggu, duduk di atas kursi kecil dengan permukaan meja yang somplak. Bagaimanakah wajah ayahmu, hari ini?
Terimakasih Nicholas atas ketabahanmu menahan bayangan setiap malam. Bagaimana engkau bisa tidur malam ini di kamarmu, sementara engkau tidak tahu dalam kondisi seperti apa ayahmu tidur setiap malam?
Terimakasih, Nicholas. Terimakasih atas pengertianmu yang luar biasa pada Indonesia yang masih sakit ini. Ayahmu telah dihukum dengan tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya.
Tapi, kami tahu, bagaimana cara menempatkan nama ayahmu dalam ingatan kami. Setiap menyaksikan kali-kali Jakarta yang bersih, kami akan membaca dengan jelas ada jejak ayahmu di sana. Setiap menyaksikan simpan susun Semanggi, jejak ayahmu tidak bisa dihapuskan.
Bagi Bu Endang, yang tadi pagi sesegukan di atas kursi rodanya sehabis mendengar keputusan hakim, setiap tangannya menyentuh roda-roda untuk membantunya bergerak, dia tahu, di sana ada jejak ayahmu juga.
Setiap kali pembahasan APBD yang sistemnya dibuat sedemikian rupa, hingga para pencoleng kebingungan menyikat isi brankas, kami tahu pasti, ada jejak ayahmu di kunci brankas itu. Ayahmu yang membuat sistem agar duit rakyat tidak mudah digunakan untuk foya-foya para bandit.
Jejak-jejak ayahmu di Jakarta terlalu kuat untuk dihapuskan dengan ketukan palu sidang. Terlalu pekat untuk dihilangkan dengan kurungan penjara.
Jejak-jejak itu, membekas di dalam ingatan kami. Dalam kepala banyak orang yang lain.
Terimakasih Nicholas, terimakasih telah mewakafkan ayahmu pada kami. Agar kami bisa terus belajar darinya, bagaimana mencintai Indonesia dengan hati yang penuh. Dan senyum yang tak lekang itu...
www.ekokuntadhi.com
Komentar
Posting Komentar