SPIRIT KEBHINNEKAAN
SPIRIT KEBHINNEKAAN
Sesungguhnya Gereja Tuhan adalah seperti Indonesia mini dan karenanya berpotensi untuk menjadi pola bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Bayangkan, menurut penuturan salah satu pegawai Departemen Agama Kristen, ada lebih dari 600 Denominasi gereja yang pasti memiliki doktrin berbeda satu dan lainnya; pasti memiliki beragam pola ibadah dengan juga beragam visi & misi dari masing-masing denominasi tersebut. Kurang lebih mirip dengan kondisi & keberadaan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke; ada banyak suku bangsa dengan beragam bahasa ibu & adat istiadatnya... Meski banyak pemimpin negeri yang telah menegaskan bahwa embrio lahirnya NKRI adalah jauh lebih lama dari tanggal 17 Agustus 1945 - mundur jauh ke tahun 1928 melalui peristiwa Sumpah Pemuda, dimana perwakilan para pemuda se-nusantara mengucapkan tekad dan sumpah mereka untuk meleburkan diri menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia dengan hanya mempergunakan satu bahasa bersama, yaitu bahasa Indonesia - mereka meleburkan semua perbedaan yang ada demi untuk meraih masa depan yang lebih baik, yaitu proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Tapi melalui beberapa peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini, terlihatlah kenyataan dari masih adanya 'bara api dalam sekam' yang berpotensi 'membakar habis' kesatuan berbangsa & bernegara yang sudah di tanamkan sejak tahun 1928 yang lalu.
Menilik dari fungsi gereja Tuhan yang seharusnya menjadi 'Pintu Gerbang Surga', maka saya merasa bahwa 'rapuhnya' kesatuan bangsa yang akhir-akhir ini mulai terekspose, tidak lain adalah dikarenakan dalam institusi gereja sendiri, kita juga masih belum selesai dengan 'diri kita sendiri'.
Spirit ke-Bhinneka-an yang seharusnya mengalir dari gereja ke berbagai aspek kehidupan berbangsa & bernegara tidak terjadi - didalam gereja Tuhan sendiri spirit ke-Bhinneka-an tersebut tidak termanifestasi secara nyata... Sebagai sesama institusi gereja yang memang memiliki doktrin, pola ibadah, visi-misi 'berbeda', kita lebih mudah bertikai satu sama lain. Tentu saja 'spirit pertikaian' itulah yang akhirnya jadi ikut mewarnai kehidupan berbangsa & bernegara...
1. Interaksi antar gereja seharusnya memanifestasikan spirit ke-Bhinneka-an
Untuk memaksakan keberadaan gereja yang memang beraneka ragam dalam dasar keyakinan maupun aspek visi-misi, adalah mustahil untuk menyatukan dalam kerangka berpikir 'Tubuh Kristus'. Untuk menjadi 'satu Tubuh' masing-masing gereja harus betul-betul memiliki dasar keyakinan yang sama, mengalami dinamika pekerjaan Roh yang sama, mengalami proses pembentukan Tangan Tuhan yang sama, mengalami bekerjanya kuasa anugerah yang sama serta mulai mengejar destiny/ tujuan & agenda kerja yang sama (Ef 4:13-16) Karena itu, dibutuhkan suatu 'kerangka berpikir lain' yang akan bisa tetap membawa gereja menjadi pola bagi bangsa ini tanpa harus 'memaksakan' konsep tentang Tubuh Kristus. Pendak kata, tanpa masing-masing gereja memanifestasikan DNA rohani yang sama, artinya mereka bukanlah 'satu Tubuh yang sama'. Tapi jika kita mulai membangun kesatuan dari berbagai perbedaan yang ada - merupakan manifestasi dari spirit ke-Bhinneka-an, hal tersebut masih dimungkinkan. Jadi walau masing-masing denominasi/ gereja lokal memiliki landasan doktrinal yang 'berbeda', mengekspresikan ibadah dengan cara yang 'berbeda' tapi gereja bisa tetap memunculkan pola Ilahi bagi bangsa ini: memanifestasikan spirit ke-Bhinneka-an...
2. Spirit ke-Bhinneka-an harus didasarkan atas rasa penghargaan/ penerimaan bahwa masing-masing denominasi/ gereja lokal selalu dimulai dari adanya pekerjaan firman & Roh yang terjadi atas pemimpin utama di denominasi/gereja tersebut.
Tanpa masing-masing pemimpin dan individu jemaat belajar untuk menerima & menghargai 'keunikan' dari denominasi/ gereja lain di sekitar mereka, adalah mustahil untuk mereka bisa menerima 'perbedaan' yang mereka lihat ada dalam diri 'saudara seiman' tersebut. Selama masing-masing pemimpin/ jemaat terus menganggap bahwa diri mereka/ kelompok mereka adalah yang 'paling hebat', maka otomatis sikap hati yang saling menghargai/ saling menerima tersebut tidak akan pernah bisa bermanifestasi... Demikian pula di tengah bangsa ini, masing-masing suku/ kelompok masyarakat harus belajar untuk menghargai budaya & ekspresi kelompok masyarakat lainnya; tidak ada niat untuk membanding-bandingkan/ merendahkan. Itulah ekspresi riil dari manifestasi spirit ke-Bhinneka-an.
Dasarnya jelas: sikap hati yang saling menghargai & menerima keberadaan orang lain. Sungguh, dibutuhkan pembenahan sikap hati secara menyeluruh!
3. Spirit ke-Bhinneka-an di bangun melalui interaksi, komunikasi yang sehat & kegiatan bersama yang sifatnya menjembatani perbedaan.
Tidak mudah untuk menerima perbedaan sebagai suatu anugerah!
Kita sudah cenderung untuk selalu beranggapan bahwa setiap perbedaan adalah menunjukkan bahwa 'kita tidak akan pernah bisa cocok' -
Dibutuhkan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa untuk bisa belajar menerima & menikmati perbedaan dari orang lain - belum lagi menganggap bahwa orang lain yang berbeda tersebut sesungguhnya adalah saudaranya sendiri (baik saudara seiman, saudara ke bangsa atau bahkan mungkin saudara sekandung...)
Orang yang memiliki kebesaran jiwa - tidak menderita 'sakit sosial'/ sindrom 'hanya aku & kelompokku yang paling benar' akan dengan mudah bersosialisasi dengan orang-orang lain; melakukan interaksi satu sama lain, membangun komunikasi secara positif maupun dengan sengaja mencari-cari cara untuk menjembatani setiap perbedaan yang ada, dengan mudah akan terjadi begitu saja. Baik dalam hubungan antar gereja maupun sosialisasi antar kelompok masyarakat di bangsa ini, dibutuhkan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Gereja Tuhan memiliki potensi besar untuk mencetak jemaat menjadi orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Dari jemaat-lah, bangsa ini akan belajar bagaimana mengejawantahkan spirit ke-Bhinneka-an ke dalam kehidupan sehari-hari berbangsa & bernegara...#AkuCintaTuhan (Ps. Steven Agustinus)
Sesungguhnya Gereja Tuhan adalah seperti Indonesia mini dan karenanya berpotensi untuk menjadi pola bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Bayangkan, menurut penuturan salah satu pegawai Departemen Agama Kristen, ada lebih dari 600 Denominasi gereja yang pasti memiliki doktrin berbeda satu dan lainnya; pasti memiliki beragam pola ibadah dengan juga beragam visi & misi dari masing-masing denominasi tersebut. Kurang lebih mirip dengan kondisi & keberadaan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai ke Merauke; ada banyak suku bangsa dengan beragam bahasa ibu & adat istiadatnya... Meski banyak pemimpin negeri yang telah menegaskan bahwa embrio lahirnya NKRI adalah jauh lebih lama dari tanggal 17 Agustus 1945 - mundur jauh ke tahun 1928 melalui peristiwa Sumpah Pemuda, dimana perwakilan para pemuda se-nusantara mengucapkan tekad dan sumpah mereka untuk meleburkan diri menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia dengan hanya mempergunakan satu bahasa bersama, yaitu bahasa Indonesia - mereka meleburkan semua perbedaan yang ada demi untuk meraih masa depan yang lebih baik, yaitu proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Tapi melalui beberapa peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini, terlihatlah kenyataan dari masih adanya 'bara api dalam sekam' yang berpotensi 'membakar habis' kesatuan berbangsa & bernegara yang sudah di tanamkan sejak tahun 1928 yang lalu.
Menilik dari fungsi gereja Tuhan yang seharusnya menjadi 'Pintu Gerbang Surga', maka saya merasa bahwa 'rapuhnya' kesatuan bangsa yang akhir-akhir ini mulai terekspose, tidak lain adalah dikarenakan dalam institusi gereja sendiri, kita juga masih belum selesai dengan 'diri kita sendiri'.
Spirit ke-Bhinneka-an yang seharusnya mengalir dari gereja ke berbagai aspek kehidupan berbangsa & bernegara tidak terjadi - didalam gereja Tuhan sendiri spirit ke-Bhinneka-an tersebut tidak termanifestasi secara nyata... Sebagai sesama institusi gereja yang memang memiliki doktrin, pola ibadah, visi-misi 'berbeda', kita lebih mudah bertikai satu sama lain. Tentu saja 'spirit pertikaian' itulah yang akhirnya jadi ikut mewarnai kehidupan berbangsa & bernegara...
1. Interaksi antar gereja seharusnya memanifestasikan spirit ke-Bhinneka-an
Untuk memaksakan keberadaan gereja yang memang beraneka ragam dalam dasar keyakinan maupun aspek visi-misi, adalah mustahil untuk menyatukan dalam kerangka berpikir 'Tubuh Kristus'. Untuk menjadi 'satu Tubuh' masing-masing gereja harus betul-betul memiliki dasar keyakinan yang sama, mengalami dinamika pekerjaan Roh yang sama, mengalami proses pembentukan Tangan Tuhan yang sama, mengalami bekerjanya kuasa anugerah yang sama serta mulai mengejar destiny/ tujuan & agenda kerja yang sama (Ef 4:13-16) Karena itu, dibutuhkan suatu 'kerangka berpikir lain' yang akan bisa tetap membawa gereja menjadi pola bagi bangsa ini tanpa harus 'memaksakan' konsep tentang Tubuh Kristus. Pendak kata, tanpa masing-masing gereja memanifestasikan DNA rohani yang sama, artinya mereka bukanlah 'satu Tubuh yang sama'. Tapi jika kita mulai membangun kesatuan dari berbagai perbedaan yang ada - merupakan manifestasi dari spirit ke-Bhinneka-an, hal tersebut masih dimungkinkan. Jadi walau masing-masing denominasi/ gereja lokal memiliki landasan doktrinal yang 'berbeda', mengekspresikan ibadah dengan cara yang 'berbeda' tapi gereja bisa tetap memunculkan pola Ilahi bagi bangsa ini: memanifestasikan spirit ke-Bhinneka-an...
2. Spirit ke-Bhinneka-an harus didasarkan atas rasa penghargaan/ penerimaan bahwa masing-masing denominasi/ gereja lokal selalu dimulai dari adanya pekerjaan firman & Roh yang terjadi atas pemimpin utama di denominasi/gereja tersebut.
Tanpa masing-masing pemimpin dan individu jemaat belajar untuk menerima & menghargai 'keunikan' dari denominasi/ gereja lain di sekitar mereka, adalah mustahil untuk mereka bisa menerima 'perbedaan' yang mereka lihat ada dalam diri 'saudara seiman' tersebut. Selama masing-masing pemimpin/ jemaat terus menganggap bahwa diri mereka/ kelompok mereka adalah yang 'paling hebat', maka otomatis sikap hati yang saling menghargai/ saling menerima tersebut tidak akan pernah bisa bermanifestasi... Demikian pula di tengah bangsa ini, masing-masing suku/ kelompok masyarakat harus belajar untuk menghargai budaya & ekspresi kelompok masyarakat lainnya; tidak ada niat untuk membanding-bandingkan/ merendahkan. Itulah ekspresi riil dari manifestasi spirit ke-Bhinneka-an.
Dasarnya jelas: sikap hati yang saling menghargai & menerima keberadaan orang lain. Sungguh, dibutuhkan pembenahan sikap hati secara menyeluruh!
3. Spirit ke-Bhinneka-an di bangun melalui interaksi, komunikasi yang sehat & kegiatan bersama yang sifatnya menjembatani perbedaan.
Tidak mudah untuk menerima perbedaan sebagai suatu anugerah!
Kita sudah cenderung untuk selalu beranggapan bahwa setiap perbedaan adalah menunjukkan bahwa 'kita tidak akan pernah bisa cocok' -
Dibutuhkan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa untuk bisa belajar menerima & menikmati perbedaan dari orang lain - belum lagi menganggap bahwa orang lain yang berbeda tersebut sesungguhnya adalah saudaranya sendiri (baik saudara seiman, saudara ke bangsa atau bahkan mungkin saudara sekandung...)
Orang yang memiliki kebesaran jiwa - tidak menderita 'sakit sosial'/ sindrom 'hanya aku & kelompokku yang paling benar' akan dengan mudah bersosialisasi dengan orang-orang lain; melakukan interaksi satu sama lain, membangun komunikasi secara positif maupun dengan sengaja mencari-cari cara untuk menjembatani setiap perbedaan yang ada, dengan mudah akan terjadi begitu saja. Baik dalam hubungan antar gereja maupun sosialisasi antar kelompok masyarakat di bangsa ini, dibutuhkan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Gereja Tuhan memiliki potensi besar untuk mencetak jemaat menjadi orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Dari jemaat-lah, bangsa ini akan belajar bagaimana mengejawantahkan spirit ke-Bhinneka-an ke dalam kehidupan sehari-hari berbangsa & bernegara...#AkuCintaTuhan (Ps. Steven Agustinus)
Komentar
Posting Komentar