PERJAMUAN KAWIN ANAK DOMBA
PERJAMUAN KAWIN ANAK DOMBA
Wahyu 19:6-10
Lalu aku mendengar seperti suara himpunan besar orang banyak, seperti desau air bah dan seperti deru guruh yang hebat, katanya: "Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.) Lalu ia berkata kepadaku: "Tuliskanlah: Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba." Katanya lagi kepadaku: "Perkataan ini adalah benar, perkataan-perkataan dari Allah." Maka tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia, tetapi ia berkata kepadaku: "Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Yesus. Sembahlah Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat."
David J. MacLeod berkata, “When the Bible pictures the relationship of Christ and His people as that of a husband and wife, it is expressing the truth that there is a covenant or bond between them, an everlasting union.”[1] Ketika Alkitab menggambarkan relasi Kristus dengan umat-Nya seperti relasi antara suami dan istri, maka hal tersebut mengekspresikan kebenaran bahwa ada sebuah perjanjian atau ikatan antara mereka, penyatuan selamanya. Setujulah penulis dengan pendapat MacLeod, karena penulis melihat sebuah benang merah tentang relasi Allah dan umat-Nya yang terjalin jelas sejak zaman PL, ketika Allah menunjukkan diri-Nya kepada umat-Nya, sampai kepada zaman PB di mana Allah menebus umat kepunyaan-Nya, dan sampai Yesus datang kedua kalinya. Gambaran tersebut juga dapat ditemukan di dalam Wahyu 19:6-10, sebagai sebuah perikop yang menggambarkan bahwa Allah selalu menghendaki hubungan yang intim dengan umat kepunyaan-Nya.
Tujuan penulisan ini adalah memaparkan isi dan makna dari perikop tersebut, yaitu bahwa Tuhan menggambarkan keintiman relasi-Nya dengan umat-Nya seperti hubungan antara suami dan istri. Sehingga, di dalam relasi itu umat-Nya harus menunjukkan perbuatan-perbuatan yang benar dan menjauhi “perselingkuhan” dengan berhala-berhala lain. Untuk memenuhi tujuan penulisan tersebut, maka penulis akan memaparkan: (1) Latar belakang tradisi PL dari perjamuan kawin Anak Domba, (2) Analisis tiap bagian teks, dan (3) Implikasi perikop tersebut bagi teologi dan pelayanan pastoral.
PERJAMUAN KAWIN ANAK DOMBA DAN LATAR BELAKANG TRADISI PL YANG MENDASARINYA
Kisah “perjamuan kawin Anak Domba” (19:6-9) adalah kisah yang kontras dengan bagian sebelumnya tentang kejatuhan si pelacur, Babel (19:1-5). Si pelacur Babel akan mati, tetapi Sang Anak Domba akan menyambut mempelai-Nya (19:6-9). Namun secara paradoks, keduanya–pujian kehancuran dan pujian kemenangan–mengundang puji-pujian dari surga; merefleksikan kegenapan yang sempurna akan rencana Allah (19:1, 3-7).[2]
Hanya Tuhanlah yang layak menerima pujian. “Haleluya!” Kata yang terdapat pada ayat 6 tersebut kembali dikumandang untuk keempat kalinya pada pasal 19 di dalam pujian. Yohanes mendengar pujian tersebut dari suara himpunan orang banyak. Suara keras dari himpunan yang tak terhitung banyaknya yang menyatakan sukacita dan syukur karena mereka diizinkan untuk menjadi mempelai Kristus.[3] Melalui pujian ini pula, lonceng tanda perayaan akan segera dimulai; Babel telah jatuh dan Kerajaan Allah sedang direalisasikan (Mat. 6:10).[4]
Kemenangan yang dibentangkan membawa kisah ini kepada sebuah penggambaran tentang pernikahan Anak Domba. Pernikahan yang dibalut dengan sukacita orang-orang kudus akan segera diselenggarakan. Gereja dilambangkan sebagai mempelai wanita bagi Sang Pengantin Pria, yaitu Yesus Kristus.[5] Perayaan perjamuan kawin Anak Domba mengundang para orang kudus, para rasul dan para nabi untuk bersukacita bersama karena kejahatan telah dikalahkan dan perayaan mesianik dapat dimulai; sebuah pergerakan yang dinamis dari penghakiman menuju perayaan.[6]
Sebelum menyelidiki lebih jauh, penulis akan memaparkan mengenai sejarah budaya pernikahan pada masa itu. Seyogyanya kita ketahui bahwa pertunangan berbeda dari satu budaya ke budaya lain, dari satu zaman ke zaman lain. Makna dalam kisah ini dapat dipahami melalui konteks adat istiadat Yahudi. Pertama-tama kedua pasangan melakukan pertunangan. Pertunangan ini dipandang lebih daripada sekedar pertunangan biasa. Syarat-syarat pernikahan diterima di hadapan para saksi dan berkat Allah diberikan atas persatuan kedua mempelai. Sejak hari pertunangan, kedua mempelai dinyatakan resmi secara hukum sebagai sepasang suami istri (2Kor. 11:2).
Di antara pertunangan dan pesta pernikahan, ada sebuah masa interval. Selama masa interval, pengantin pria membawa mas kawin kepada calon mertuanya, yaitu ayah dari pengantin wanita (Kej. 34:12). Terkadang, mas kawin yang diberikan adalah dalam bentuk pelayanan (Kej. 29.20).
Kemudian, tibalah saat prosesi akhir interval tersebut. Pengantin wanita mempersiapkan diri dan berdandan. Pengantin pria, dengan mengenakan pakaian terbaiknya berserta sahabat-sahabat prianya, melakukan prosesi ke rumah sang tunangan sembari membawa obor. Sang pengantin pria menghampiri pengantin wanita, kemudian membawanya ke rumah sendiri atau ke rumah kedua orangtuanya (Mat. 9:15). Akhirnya, pesta perjamuan pernikahan diadakan di sana. Pesta perjamuan pernikahan biasanya berlangsung selama tujuh hari, bahkan lebih. Latar belakang pernikahan itu dapat ditemukan dalam teks Wahyu19:6-10, karena perpindahan narasinya mengikuti adat-istiadat Yahudi. [7]
RELASI SUAMI-ISTRI: KEINTIMAN ANTARA ALLAH DAN UMAT-NYA (Ay. 7-8)
Setelah Yohanes mendengar seruan pujian himpunan orang banyak bagi Allah, maka dia kemudian melihat sebuah kisah pesta pernikahan Anak Domba dengan mempelai wanita-Nya. Apabila mengacu kepada keseluruhan Alkitab, baik itu PL dan PB, Allah memakai pernikahan sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan hubungan anatara Allah dengan umat-Nya.
Di dalam PL, metafora pernikahan menggambarkan sebuah relasi antara Yahweh dengan umat perjanjian-Nya. Penggambaran tersebut mencakup tentang pertunangan (Hos. 2:21-22; Yer. 2:2), pengantin wanita (Yes. 49:18; 61:10; 62:5), istri (Yeh. 16:32; Yes. 54:6), Tuhan sebagai pengantin pria (Yes. 62:5); Tuhan sebagai suami (Hos. 2:18; Yes. 54:5; Yer. 3:14; 31:32); menikah dan dinikahi (Yes. 62:4-5). [8]
Beralih ke PB, metafora pernikahan terus dikumandangkan dalam kekristenan awal (Mat. 9:15b; Mrk. 2:20; Luk. 5:35; Mat. 25:1-13; Kor. 11:2; Ef. 5:25-32; Why. 19:7; 21:2, 9; 22:17).[9] Penjelasan akan penggambaran ini paling jelas terdapat dalam Surat Efesus 5 ketika Paulus menasihatkan para suami dan istri tentang kesatuan dalam pernikahan. Paulus menyimpulkan bahwa, “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef. 5:32).
Dalam perikop ini disebutkan tentang mempelai pria dan wanita. Apa yang dimaksudkan? Pertama, berkenaan dengan mempelai pria. Mempelai pria di dalam kisah ini adalah Anak Domba. David MacLeod memberikan penafsiran bahwa: “The title ‘Lamb,’ more than any other, draws attention to the fact that “Christ . . . loved the church and gave Himself up to her (Eph. 5:25).” Mengacu kepada PL (Hos. 2:14-20; Yes. 62:5; Yer. 2:2), injil (Mrk. 2:19; Yoh. 3:29), dan tradisi Paulus (2.Kor. 11:2; Ef. 5:25-32), Yohanes menggambarkan Kristus sebagai mempelai pria.[10] Jadi, dapat dipastikan bahwa mempelai pria yang disebut Anak Domba itu adalah Yesus Kristus yang telah menjadi kurban tebusan bagi umat-Nya.
Kedua, berkenaan dengan mempelai wanita. Sebagian besar sarjana setuju bahwa mempelai wanita yang dimaksud dalam kisah ini adalah gereja, yaitu umat Allah yang telah ditebus.[11] Jika kita melihat bahasa asli yang dipakai, Wahyu 19:7 mengacu kepada kata h` gunh yang berarti “istri”, dan bukannya mempelai wanita (h` nu,mfh).[12] Di dalam PB, metafora mempelai wanita atau istri digunakan untuk menggambarkan: (1) Gereja sebagai istri yang menikah dengan Kristus (Rm. 7:1-4; 1Kor. 6:17), dan (2) Gereja sebagai perawan suci yang telah dipertunangkan dan akan menikah di kemudian hari dengan Kristus (2Kor. 11:2).[13]
MASA INTERVAL: SANG MEMPELAI WANITA MEMPERSIAPKAN DIRINYA (Ay. 8)
Penulis melanjutkan dengan penjelasan tentang masa interval dalam pernikahan antara mempelai pria dan wanita. Di dalam masa interval, antara pertunangan dan pernikahan, sang mempelai wanita mempersiapkan dirinya. “Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih! [Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus]” (Why. 19:8). Di dalam ayat ini, ada beberapa frasa yang harus ditafsirkan untuk memperoleh makna yang sebenarnya. Frasa tersebut yaitu (1) kain lenan halus, dan (2) perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.
Kain lenan halus (The finest linen). Mempelai wanita sebenarnya sama sekali tidak memiliki kain lenan halus, sehingga, sebenarnya kain lenan tersebut dikaruniakan kepadanya. Hal yang harus dilakukan oleh mempelai wanita adalah mengenakan kain lenan tersebut sebagai gaun pengantin, namun mempelai wanita tidak dipaksa untuk mengenakan gaun pengantinnya. Kain lenan tersebut menggambarkan iman, maka gaun pengantin yang terbuat dari kain lenan halus tersebut diberikan sebagai penggambaran bahwa iman yang dimiliki oleh umat Tuhan adalah pemberian Allah.[14] Di dalam masa persiapan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan: (1) Terdapat self-activity ketika mempelai wanita mempersiapkan dirinya, (2) Mengenakan kain lenan adalah sebuah perintah, dan (3) Mempelai wanita menaati perintah untuk mengenakan apa yang diberikan. Persiapan ini menjadi bukti bahwa ada tahap-tahap yang harus dilakukan mempelai tersebut. Maka dari itu, masa persiapan bukan hanya melihat dari hasilnya, tetapi proses yang telah dikerjakan.[15]
Perbuatan-perbuatan yang benar dari orang kudus. Menurut Kistemaker, perbuatan yang benar mengacu kepada Efesus 2:10. Perbuatan benar hanya dimungkinkan oleh kasih karunia Allah yang bekerja di hati setiap orang percaya. Setelah bebas dari belenggu maut, orang percaya dapat melayani Tuhan sebagai bukti persembahan dirinya (Mat. 25:37-39).[16] Sarjana lain mengatakan bahwa perbuatan benar yang dimaksud ada dua macam, yaitu “a righteousness of justification” dan “a righteousness of sanctification.” Justification atau kebenaran adalah sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia, sama seperti kain lenan yang dikaruniakan kepada mempelai wanita. Sedangkan sanctification atau pengudusan adalah tindakan ketaatan setiap orang percaya terhadap perintah Tuhan. Tentulah orang-orang kudus memiliki keduanya: kebenaran karena iman dan kebenaran yang menghasilkan buah pertobatan.[17] Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa perbuatan-perbuatan benar yang dimaksud adalah perbuatan baik dari setiap orang yang telah mengalami karya penebusan di dalam Yesus Kristus, Sang Anak Domba.
PARA UNDANGAN PERNIKAHAN (ay. 9)
Pertanyaan yang sering muncul adalah siapakah yang diundang ke dalam perjamuan kawin? Apakah umat Allah adalah mempelai wanita dan sekaligus undangan?[18] Ryrie, seorang sarjana penganut pandangan futuris, menafsirkan bahwa mempelai wanita dan undangan adalah berbeda. Para undangan adalah umat percaya yang tidak beribadah di gereja, sedangkan mempelai wanita adalah umat percaya yang beribadah di gereja.[19] Penafsiran lainnya, mempelai wanita berarti gereja secara kolektif, sedangkan para undangan mendeskripsikan gereja secara individu.[20] Dengan melihat banyaknya penafsiran karena kerangka simbolisme yang Yohanes bangun bertumpang tindih, maka penulis setuju dengan pendapat Kistemaker yang menyimpulkan bahwa “tamu dan mempelai wanita adalah sama.”[21] Gambaran sebagai tamu ini memperlihatkan karakteristik bahwa sebuah hal yang berbahagia ketika seseorang diundang untuk bertemu secara langsung dengan Yesus Kristus. Kata “diundang” merujuk kepada akses masuk ke perjamuan kawin tidak didapat karena perbuatan baik seseorang. Maka dari itu, inisiatif keselamatan, yaitu ketika Tuhan mengundang umat-Nya untuk berbagian di dalam pesta perjamuan pernikahan, selalu bergantung kepada Tuhan (Mat. 22:3).[22]
PENYEMBAHAN YANG BENAR (Ay. 10)
Ketika Yohanes mendengar seluruh pemberitaan tersebut dari malaikat, maka Yohanes langsung tersungkur untuk menyembahnya. Nas ini pun diulang kembali hampir sama persis dengan 22:8b-9. Respons malaikat tersebut di dalam kedua nas adalah sama: “Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Kristus. Sembahlah Allah! (Why. 19:10).” Yohanes mungkin menuliskan hal ini dua kali untuk menegaskan maksudnya.[23]
Sebelum menarik kesimpulan, alangkah lebih baiknya untuk mengintip tradisi Yahudi pada masa itu dalam konteks penyembahan malaikat. Pola penghargaan yang dilakukan oleh manusia, baik itu berlutut ataupun tersungkur, ketika sosok malaikat ataupun sesuatu yang ilahi muncul merupakan hal yang biasa dalam literatur Yahudi maupun literatur Kristen mula-mula. Namun, pola ini selalu dibarengi dengan penolakan sosok yang disembah tersebut karena mereka tahu jika hal itu dilakukan maka mereka akan merampas kemuliaan Allah (Dan. 2:46; Yes. 7:21; 8:1-5; Kis. 10:25-26; Tobit 12.16-22; 3Henokh 1.7). [24]
Penolakan malaikat untuk disembah Yohanes (“Jangan berbuat demikian!”) dan perintah “Sembahlah Allah!” merupakan salah satu tema besar di dalam kitab Wahyu. Rupanya penggambaran ini membentangkan sebuah kesadaran akan bahaya penyembahan berhala yang dilakukan umat Allah; seperti visi yang telah diperlihatkan tentang Babel (Why. 17-18). Sebuah pilihan yang jelas harus diambil oleh umat Allah: pilihan antara “Babel” atau “Yerusalem.” Penyembahan yang benar adalah menyembah satu Allah, dan bukan kepada allah-allah lain yang mengaku-ngaku memiliki status ilahi atau utusan Allah.[25]
Jadi, mengapa Yohanes menuliskan tentang penyembahan ini? Alasannya adalah seperti dua sisi mata koin. Pertama, Yohanes ingin menunjukkan kepada para pembacanya bahwa penyembahan berhala (idolatry) dapat masuk ke dalam kehidupan seseorang walaupun orang tersebut bermaksud baik. Yohanes ingin menghormati sang pengirim berita kebenaran tersebut. Kedua, penyembahan berhala bukan sekedar melakukan sebuat acara ritual penyembahan patung, namun lebih daripada itu, MacLeod menyimpulkannya dengan sangat jelas: “It is giving absolute worth and devotion to anything or anyone other than God, even a good cause.”[26] Jadi tepatlah dikatakan bahwa setiap orang Kristen harus menyembah Allah saja dan tidak boleh menjadikan apapun sebagai berhala, menggantikan posisi Allah untuk disembah.
IMPLIKASI WAHYU 19:6-10
Mengacu pada pembahasan teks Wahyu 19:6-10 di atas, maka kesimpulan yang penulis dapatkan adalah relasi intim antara Tuhan dengan umat-Nya digambarkan seperti hubungan suami istri yang ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan menghindari “perselingkuhan,” yaitu hubungan dengan berhala lain. Oleh karena itu penulis menarik implikasi bagi teologi dan pelayanan pastoral, yaitu: (1) Pentingnya relasi intim dengan Tuhan. (2) Menandai relasi itu dengan perbuatan yang benar, dan (3) Menghindari perselingkuhan dengan berhala lain.
Pertama, analogi sepasang mempelai pria dan wanita menggambarkan perjalanan hubungan yang intim antara Yesus Kristus dengan umat yang dikasihi-Nya. Relasi yang intim dengan Tuhan dapat dirasakan oleh setiap orang percaya sejak Yesus menebus mereka di kayu salib. Ketika umat Tuhan menjalani komitmen untuk bersatu dengan Yesus, maka mereka akan semakin mengasihi-Nya dan semakin serupa dengan-Nya. Dan pada akhirnya, umat Tuhan menyadari bahwa tidak ada satupun yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya; entahkah hal tersebut adalah kehilangan, kehancuran, badai, penganiayaan, bahkan kematian tidak dapat memisahkan umat Tuhan dari kasih-Nya. Kasih Yesus menjadi sebuah fondasi yang kokoh untuk setiap umat Tuhan tetap dapat mengandalkan-Nya.[27] Namun, ketika Allah menghampiri umat-Nya, maka hal tersebut murni semata-mata hanya karena inisiatif dari Allah sendiri. Relasi Allah dengan umat-Nya adalah sebuah inisiatif yang Allah mulai terlebih dahulu, sama seperti para tamu undangan yang diundang oleh Sang Anak Domba, terpilih hanya karena Dia berkarunia. Sehingga, relasi dengan Allah hanya didapat tatkala Allah sendiri yang beranugerah.[28]
Hal yang paling penting tentang hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya, dan bagaimana Dia mengasihi umat-Nya, bukanlah “bagaimana caranya”, tetapi ketika orang percaya menjadi milik kepunyaan-Nya. Seperti yang dikatakan dalam Yesaya 49:16 “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku.” Setiap umat Tuhan adalah milik-Nya.[29] Oleh karena itu, orang Kristen masa kini perlu memiliki relasi yang intim dengan Tuhan.
Kedua, relasi yang intim pun harus disertai dengan perbuatan-perbuatan untuk menunjukkan kecintaan pasangan satu dengan yang lainnya. Sang Anak Domba telah memberikan nyawa-Nya untuk menebus mempelai wanita-Nya sebagai bukti cinta kasih-Nya. Kini giliran sang mempelai wanita, yaitu umat Tuhan, untuk mengenakan kasih-Nya dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan benar, perbuatan-perbuatan kasih, tindakan iman, sukacita di dalam melayani dan bertahan terhadap penganiayaan.[30] Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain adalah memperhatikan kebutuhan sesama yang berkekurangan, memberi, memperjuangkan keadilan sosial, melayani Tuhan di gereja, menginjili, dan masih banyak lagi.
Ketiga, namun perlu disadari adalah bahwa hubungan intim yang terjalin dapat “terbunuh” karena si mempelai wanita dapat sewaktu-waktu tidak setia kepada pasangannya. Kitab Hosea menggambarkan hal ini dengan sangat baik. Hosea, sang nabi yang mengasihi Tuhan rela menikahi seorang pelacur bernama Gomer. Ketika Hosea menikahi Gomer, bolak-balik Hosea menebus Gomer karena dia tidak setia dan kembali melakukan persundalan. Hubungan Hosea dan Gomer menjadi simbol bagaimana Tuhan tetap mengasihi umat-Nya ketika umat-Nya tidak setia. Seperti Gomer, umat Tuhan memiliki kecenderungan untuk berpaling dari Allah kepada berhala-berhala lain.
Penyembahan berhala diidentikan dengan orang-orang primitif yang menyembah patung, seperti penyembahan lembu emas, Baal, atau Dagon. Kebanyakan dari umat percaya masa kini tidak lagi dicobai dengan penyembahan berhala – menyembah patung – seperti itu. Maka dari itu umat Tuhan tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka dicobai setiap hari untuk menjadi penyembah berhala karena bentuk penyembahan yang berbeda. David Clarkson, seorang Puritan Inggris, menamakan penyembahan berhala tersebut “soul idolatry,” yaitu “When the mind and heart is set upon anything more than God; when anything is more valued . . . anything more trusted, more loved, or our endeavors more for any other thing than God.”[31]
Jadi apa itu penyembahan berhala? Timothy Keller dalam bukunya yang berjudul Counterfeit Gods, memberikan definisi sebagai berikut: “[An idol] is anything more important to you than God, anything that absorbs your heart and imagination more than God, anything you seek to give you what only God can give.”[32] Sedangkan Scott Haffeman mendefinisikannya sebagai berikut: “‘Idolatry’ is the practice of seeking the source and provision of what we need either physically or emotionally in someone or something other than one true God.”[33] Berhala-berhala tersebut dapat berarti uang, jabatan, studi, pasangan hidup, kebanggaan diri, bahkan pelayanan sekalipun. Dengan demikian, hanya salah satu yang dapat bertahta di dalam kehidupan umat Tuhan; Allah atau berhala. Tidak dapat keduanya bertahta di dalam satu hati. Bagaimana caranya seseorang menjauhkan diri dari penyembahan berhala? Prinsipnya adalah berhala-berhala tidak mungkin akan bertahta di atas hati setiap umat Tuhan hanya jika hati mereka ditangkap oleh Allah – Allah yang bertahta di atas hati mereka.[34]
KESIMPULAN
Di penghujung tulisan ini penulis hendak menyimpulkan teks Wahyu 19:6-10. Pertama, pesta perjamuan kawin Anak Domba merupakan penggambaran keintiman relasi antara Kristus dengan umat-Nya. Kedua, orang-orang kudus, yaitu umat Tuhan, harus melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai bukti kasih-Nya kepada Tuhan. Ketiga, umat Tuhan harus menyembah Tuhan semata dan tidak boleh menduakan-Nya dengan berhala-berhala lain. Maka dari itu, implikasi dari ayat ini adalah: (1) Allah menghendaki relasi yang intim dengan umat-Nya, dan (2) selama menantikan Yesus, umat Tuhan harus terus melakukan perbuatan baik, dan (3) umat percaya harus bermawas diri dengan berhala-berhala di dalam kehidupannya karena berhala-berhala dapat membuat relasi intim Allah dengan umat-Nya terganggu.
“Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya.” (Yesaya 61:10)
Komentar
Posting Komentar