KEPEKAAN HATI
*KEPEKAAN HATI*
Niken Nababan
PENGERTIAN KEPEKAAN
• Kepekaan adalah ketika roh kita bergejolak saat melihat sesuatu terjadi. (Kis 17:16)
Dalam Kisah Para Rasul 17:16 dikatakan bahwa Paulus sedih hatinya. Bahasa aslinya Yunani: Παυλου παρωθυνετω το πνϵυμα αυτου εν αυτου (the spirit of Paul besides sharphened), yang dalam Alkitab KJV diterjemahkan “his spirit was stirred” artinya rohnya bergejolak, dalam NIV “he was greadly distressed”, artinya dia merasakan tekanan yang besar. Paulus sedih bukan sedih yang biasa tetapi ia sedih dalam roh. Kesedihannya begitu mendalam, hatinya seakan-akan diiris-iris dengan pisau tajam, rohnya bergejolak seakan-akan mendidih. Inilah yang disebut kepekaan. Paulus sedih dalam roh karena ia dapat merasakan apa yang ada di hati Tuhan. Yesus bersikap biasa saja meski ditolak di Yerusalem; Yesus tidak menangis ketika dicambuk dan disalib; tetapi Yesus menangis ketika melihat orang-orang Yerusalem tidak mengerti kebenaran (Luk 19:41). Dia merasakan kesedihan yang mendalam.
• Kepekaan adalah ketika kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. (Elihu dlm Ayub 32-33)
Saat Ayub ditimpa musibah besar, dia berkeluh-kesah dan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya ini (Ayub 3; 40:3). Namun Elihu sangat paham dengan perasaan Ayub meskipun pandangan Ayub ini salah. Kepekaan Elihu terhadap situasi yang terjadi membuat ia mampu memberikan nasihat yang tepat sehingga bisa diterima Ayub.
• Kepekaan adalah ketika kita mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. (Ibr 5:14)
Dalam Ibr 5:14 dikatakan bahwa orang yang dewasa rohani adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Seorang bayi tidak mengerti ketika dia berbuat kesalahan. Semakin besar dia akan semakin mengerti mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Artinya dia semakin memiliki kepekaan untuk merespon segala yang terjadi disekitarnya dan mengambil sikap dengan benar.
JENIS KEPEKAAN
1. Kepekaan mendengar suara Tuhan. (Yoh 10:3-5)
Orang yang mau melayani harus mulai dari dasarnya yaitu pertobatan. Itulah saat dia mengenal suara Tuhan lalu mengikuti-Nya. Menurut Yoh. 10:3-5 dikatakan bahwa domba mendengar suara gembala lalu dia akan mengikuti ke mana gembala itu pergi. Jika dia tidak peka maka dia tidak akan bisa membedakan mana suara gembala dan mana suara pencuri. Dia bisa saja salah orang. Sesudah bertobat kemudian dia harus mengenal Firman dan hidup di dalam-Nya. Artinya kepekaan untuk mendengar suara Tuhan harus terus-menerus dipertajam dan kepekaan inilah yang akan mendorongnya untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai kehendak Tuhan. Contohnya: anak yang sangat kenal dengan suara langkah bapaknya. Belum dipanggil sudah dating hanya karena mendengar suara langkahnya.
2. Kepekaan pada Roh Kudus. (Gal 2:20; 4:6; 5:25; Kis 16:6-7)
Roh Kudus adalah Guru kita untuk mengajar, menjelaskan, meyakinkan kebenaran Firman Allah, menghibur, dan menolong kita. Dia akan menuntun hati dan pikiran kita untuk melakukan segala hal yang menjadi kehendak Allah. Di dalam Galatia 2:20 Paulus menyatakan bahwa dia hidup bukan lagi oleh dirinya sendiri tetapi oleh Kristus yang hidup dalam dirinya. Itulah Roh Kudus. Dengan demikian, setiap hari Dia akan memimpin kita kepada kehendak-Nya. Paulus sangat peka pada hadirnya Roh Kudus dalam dirinya sehingga dia dapat mengetahui pimpinan-Nya dan mematuhi-Nya (Kis 16:6-7). Kita dapat meneladani Paulus dengan mengembangkan kepekaan untuk mendengar suara Roh Kudus dan merasakan pimpinan-Nya.
3. Kepekaan terhadap panggilan pelayanan. (1 Sam 3; Yoh 1:43-51)
Kitab I Sam 3 mengisahkan pemanggilan Allah kepada Samuel yang masih belia. Saat Samuel tidur, Allah memanggil namanya: “Samuel, Samuel!”. Dengan sigap Samuel segera berlari ke arah imam Eli karena dia menyangka dipanggil oleh imam Eli. Tetapi imam Eli menjawab bahwa dia tidak memanggil Samuel. Sampai 3 kali Allah mengulang panggilan-Nya kepada Samuel, dan 3 kali pula Samuel selalu sigap memberi respon dengan datang dan bertanya kepada imam Eli walau telah dijawab bahwa imam Eli tidak memanggil dirinya. Barulah imam Eli mengetahui bahwa Allah yang memanggil Samuel, karena itu dia memberitahu Samuel, apabila Allah memanggil namanya kembali, dia harus memberi jawab: “Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar" (I Sam. 3:9). Sikap Samuel ini menunjukkan bahwa Samuel adalah seorang yang memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Walau dia dalam keadaan tertidur lelap, dia tetap peka dengan suara yang memanggil dirinya. Bandingkan dengan kita. Samuel bukan sekedar peka dan terbangun dari tidurnya, tetapi kepekaan diri tersebut senantiasa diikuti dengan sikap yang sigap bertindak agar tidak ada tugas yang terlalai.
Dalam Yoh 1:43-51 merupakan kisah pemanggilan Yesus pada murid-murid-Nya yang pertama, yaitu Andreas, Filipus, dan Natanael. Ketiganya sama-sama memiliki kepekaan akan panggilan-Nya namun berbeda dalam cara dan kecepatan merespon-Nya. Andreas mengikuti Yesus karena mendengar pernyataan Yohanes, artinya sebelum Yesus mengajaknya, dia sudah mengikuti Yesus. Filipus diajak dan langsung mengikuti Yesus tanpa bertanya apa-apa. Sedangkan Natanael merasa perlu meyakinkan diri terlebih dahulu sebelum mengikut Yesus. Tapi Yesus justru memuji Natanael dan menubuatkan hal yang besar bagi Natanael. Artinya Yesus menilai bukan dari kecepatan orang dalam merespon ajakan-Nya tetapi dari motivasi orang itu. Cepat bertindak belum tentu benar. Yang dibutuhkan adalah kepekaannya terhadap peristiwa yang dihadapinya.
Panggilan Allah juga terjadi dalam setiap kehidupan kita tetapi belum tentu kita memiliki sikap yang peka seperti Samuel atau ketiga murid Yesus itu. Mungkin berulangkali Allah memanggil kita, namun kita sering lebih memilih tidak peduli dan mengeraskan hati. Kepekaan perlu diikuti dengan kesigapan merespon seperti halnya Samuel, Andreas, dan Filipus. Tapi kadang-kadang respon bisa saja lambat seperti halnya Natanael, tapi Tuhan tidak mempermasalahkan itu. Respon yang cepat belum tentu benar kalau kita salah memahami panggilan-Nya. Betapa vital dan berharganya makna kepekaan hati-nurani dan iman, karena tanpa kepekaan hati-nurani dan iman kita akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh keselamatan dan membagikan berita anugrah itu kepada orang-orang di sekitar kita.
4. Kepekaan sosial. (Yak 1:19-27; Mat 25:35-40; Luk 10:36-37)
Yakobus menekankan pentingnya kehidupan Kristen yang utuh, yaitu bukan saja mendengar dan meneliti Firman, tetapi juga melakukan kebenaran Firman itu. Jemaat Kristen Yahudi pada masa itu masih terperangkap ibadah-ibadah formal-seremonial, menggambarkan orang yang mendengar Firman namun tidak melakukannya sebagai “orang yang bercermin tetapi kemudian lupa akan rupanya sendiri” (1:23-24). Maka di ayat 26-27, Yakobus mengaitkan keutuhan hidup yang melakukan firman dengan konsep ibadah yang “murni dan tak bercacat di hadapan Allah.” Yakobus mengaitkan kemurnian dan kebenaran ibadah dengan aspek kepedulian terhadap sesama, khususnya kaum yang lemah. Kata “ibadah” adalah terjemahan dari kata θρησκεια (dari akar kata sifat ϴρησκοσ atau “beribadah ritual”). Kata ini menggambarkan seseorang yang melakukan aktivitas keagamaan seperti ibadah secara umum, berpuasa, atau memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Di sini Yakobus menekankan ciri ibadah yang murni, yaitu ibadah yang memiliki kuasa yang mengubahkan hidup. Maknanya jelas bahwa ibadah yang benar lebih dari sekedar aktivitas lahiriah. Ia harus lahir dari suatu kondisi kerohanian yang tulus, yang kemudian diekspresikan di dalam tindakan kasih akan sesama dan kekudusan hidup di hadapan Allah.
Ibadah memang dapat diwujudkan dalam suatu relasi penyembahan yang khusus dan pribadi antara orang percaya dengan Allah di dalam satu bentuk seremoni atau liturgi khusus. Namun ibadah seremonial ini harus dinyatakan dalam tindakan sehari-hari dengan cara menyatakan kasih bagi sesama dan kepedulian terhadap segala masalah bangsa ini. Apa yang digambarkan Yakobus sebagai tindakan “mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” merupakan wujud kasih akan sesame, sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus. Kata kerja “mengunjungi” (επεσκεψασθε) juga digunakan dalam Matius 25:36-40, yang memiliki makna “mengunjungi orang yang sakit” bukan semata-mata karena suatu kewajiban sosial, tetapi terlebih untuk memperhatikan kebutuhan mereka secara tulus. Dalam tulisan Matius tersebut dijelaskan bahwa apapun tindakan kasih yang kita nyatakan kepada setiap orang yang paling membutuhkannya adalah sebuah tindakan bagi Kristus sendiri. Sebagaimana halnya yang ditulis di Lukas 10:27-37, Yesus mengajarkan bahwa mengasihi Tuhan harus diwujudkan dengan mengasihi orang lain yang memerlukan bantuan sekalipun orang itu adalah orang yang memusuhi kita.
John Stott dalam bukunya, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, halaman 11, menggambarkan minimnya kepedulian sosial gereja dengan mencatat sebuah sajak seorang wanita miskin yang meminta bantuan seorang pendeta (entah sajak ini nyata ataukah sebuah sindiran):
Saya kelaparan,
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagai kebebasan saya.
Saya telanjang,
dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.
Saya tidak mempunyai tempat berteduh,
dan Anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Saya kesepian,
dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar – dan kesepian – dan kedinginan.
5. Kepekaan untuk tidak menyakiti hati Tuhan. (Mat 21:12-13)
Menyenangkan hati Tuhan bukan hanya melakukan apa yang Tuhan suka tetapi juga tidak melakukan apa yang tidak disukai Tuhan. Kita kadang meremehkan hal kecil, misalnya menyontek di kelas, membicarakan keburukan orang, melanggar marka jalan,dan lain-lain.Tetapi untuk hal keci itupun sesungguhnya kita sudah menyakiti hati Tuhan.
6. Kepekaan dalam komunikasi. (Yak 3:1-12)
Salah komunikasi dapat berakibat fatal maka kita tidak boleh sembarangan berbicara kepada orang lain, baik dalam komunikasi verbal maupun non verbal. Itulah sebabnya Yakobus memperingatkan jemaat duabelas suku di perantauan, khusus mengenai dosa yang disebabkan karena perkataan yang tidak baik. Yesus sendiri sangat berhati-hati dalam berkomunikasi agar perkataan-Nya dapat dimengerti oleh orang-orang. Cara Dia berbicara kepada murid-murid berbeda dengan cara berbicara kepada para Imam, berbeda kepada perempuan Samaria yang dijumpai-Nya di sumur (Yoh 4:1-42), berbeda pula kepada orang banyak. Perumpamaan yang yang sering digunakan Yesus merupakan bukti kepekaan-Nya terhadap pola pikir dan kemampuan orang-orang untuk mengerti ajaran-Nya.
CARA MEMPEROLEH KEPEKAAN
1. Hubungan yang dekat dengan Tuhan (Sate, doa, baca Alkitab).
Mempunyai kepekaan bukanlah dengan mendatangi seminar-seminar, tetapi kita bisa menjadi peka jika hubungan kita dekat dengan Tuhan. Menurut Maz. 73:27-28, menjelaskan bahwa orang yang dekat dengan Tuhan akan menjadi peka sehingga dapat menceritakan pekerjaan Allah bagi orang lain.
2. Penyerahan diri untuk diubahkan. (Rom 12:1-3)
Kalau kita menyerahkan diri secara total, kita akan tahu mana kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Kita harus mau membuka diri untuk diubahkan sehingga menjadi bejana yang indah. Itu butuh perjuangan dan sering harus melewati rasa sakit yang luar biasa. Tapi sesudah semua terlewati, hasilnyapun luar biasa. Untuk membedakan mana yang baik dan mana yang bukan adalah hal yang mudah, tetapi untuk mengetahui kehendak Allah di antara yang baik, itu membutuhkan kepekaan.
3. Menyediakan diri untuk berkorban bagi orang lain. (Mat 20:28)
Tuhan Yesus memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang. Kita perlu belajar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Kita tidak sampai dituntut harus memberikan nyawa seperti Yesus walaupun itu mungkin saja terjadi. Dengan membiasakan diri untuk mau mengulurkan tangan menolong orang lain, kepekaan kita akan makin terasah.
4. Mendengarkan orang lain. (Yak 1:19)
Cepat untuk mendengar adalah perilaku yang menunjukkan sebuah perhatian akan kebutuhan dan perasaan orang lain. Dengan demikian akan muncul empati yang menumbuhkan kepekaan hati kita terhadap orang lain. Dengan mendengar, orang-orang yang berbicara merasa dihargai dan diperhatikan. Lambat untuk berkata-kata adalah pengendalian diri agar kita tidak tergesa-gesa memberi jawaban dan menanggapi pembicaraan orang lain serta tidak tergesa-gesa menyebarkan berita (ayat 26: pengekangan lidah). Lambat untuk marah adalah pengendalian diri agar berpikir dengan seksama apa yang terjadi di hadapan kita, supaya jangan menjadi marah tanpa alasan dan tujuan yang benar.
5. Memberikan perhatian pada segala sesuatu.
Kita berada di dalam sebuah komunitas kecil maupun besar yang beragam model dan warnanya. Seperti Yesus yang dikelilingi oleh banyak orang dengan berbagai keadaan. Semuanya tidak satupun yang luput dari perhatian-Nya. Orang kaya, miskin, berdosa, terhina, orang tua, muda dan anak-anak kecil, orang sakit dan cacat, semua diperhatikan Yesus dengan seksama. Yesus menjadi sangat tahu apa yang diperlukan setiap pribadi yang berbeda-beda itu, dan membuat Dia dapat bersikap dan berbicara dengan kalimat yang tepat pada waktu yang tepat pula.
6. Tekun melatih diri. (Ibr 5:14; 1 Kor 9:27)
Paulus mengajarkan kepada kita, untuk mencapai sebuah tujuan diperlukan ketekunan melatih diri. Dengan berlatih mulai dari yang kecil, lama-kelamaan semakin banyak yang kita tahu dan kita kuasai, kita akan menjadi semakin peka menyikapi banyak hal. Butuh perjuangan keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Tapi jerih payah kita yang berat itu tidak akan sia-sia, karena Tuhan telah menjanjikan mahkota yang abadi bagi orang yang memenangkan pertandingan.
PENUTUP
Memiliki kepekaan hati sangat penting bagi semua murid Kristus. Kita perlu kepekaan hati agar dapat menjalankan tugas-tugas kita di dalam lingkungan dengan baik dan lancar. Kepekaan dapat meminimalisir konflik. Kepekaan dapat membantu kita untuk mengambil sikap yang benar dalam setiap situasi dan kondisi. Kepekaan juga menolong kita untuk dapat mengambil keputusan yang tepat. Karena itu, marilah kita terus belajar menumbuhkan kepekaan kita dalam kehidupan ini agar kita dapat menjadi murid Kristus yang baik.
Niken Nababan
PENGERTIAN KEPEKAAN
• Kepekaan adalah ketika roh kita bergejolak saat melihat sesuatu terjadi. (Kis 17:16)
Dalam Kisah Para Rasul 17:16 dikatakan bahwa Paulus sedih hatinya. Bahasa aslinya Yunani: Παυλου παρωθυνετω το πνϵυμα αυτου εν αυτου (the spirit of Paul besides sharphened), yang dalam Alkitab KJV diterjemahkan “his spirit was stirred” artinya rohnya bergejolak, dalam NIV “he was greadly distressed”, artinya dia merasakan tekanan yang besar. Paulus sedih bukan sedih yang biasa tetapi ia sedih dalam roh. Kesedihannya begitu mendalam, hatinya seakan-akan diiris-iris dengan pisau tajam, rohnya bergejolak seakan-akan mendidih. Inilah yang disebut kepekaan. Paulus sedih dalam roh karena ia dapat merasakan apa yang ada di hati Tuhan. Yesus bersikap biasa saja meski ditolak di Yerusalem; Yesus tidak menangis ketika dicambuk dan disalib; tetapi Yesus menangis ketika melihat orang-orang Yerusalem tidak mengerti kebenaran (Luk 19:41). Dia merasakan kesedihan yang mendalam.
• Kepekaan adalah ketika kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. (Elihu dlm Ayub 32-33)
Saat Ayub ditimpa musibah besar, dia berkeluh-kesah dan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya ini (Ayub 3; 40:3). Namun Elihu sangat paham dengan perasaan Ayub meskipun pandangan Ayub ini salah. Kepekaan Elihu terhadap situasi yang terjadi membuat ia mampu memberikan nasihat yang tepat sehingga bisa diterima Ayub.
• Kepekaan adalah ketika kita mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. (Ibr 5:14)
Dalam Ibr 5:14 dikatakan bahwa orang yang dewasa rohani adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Seorang bayi tidak mengerti ketika dia berbuat kesalahan. Semakin besar dia akan semakin mengerti mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Artinya dia semakin memiliki kepekaan untuk merespon segala yang terjadi disekitarnya dan mengambil sikap dengan benar.
JENIS KEPEKAAN
1. Kepekaan mendengar suara Tuhan. (Yoh 10:3-5)
Orang yang mau melayani harus mulai dari dasarnya yaitu pertobatan. Itulah saat dia mengenal suara Tuhan lalu mengikuti-Nya. Menurut Yoh. 10:3-5 dikatakan bahwa domba mendengar suara gembala lalu dia akan mengikuti ke mana gembala itu pergi. Jika dia tidak peka maka dia tidak akan bisa membedakan mana suara gembala dan mana suara pencuri. Dia bisa saja salah orang. Sesudah bertobat kemudian dia harus mengenal Firman dan hidup di dalam-Nya. Artinya kepekaan untuk mendengar suara Tuhan harus terus-menerus dipertajam dan kepekaan inilah yang akan mendorongnya untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai kehendak Tuhan. Contohnya: anak yang sangat kenal dengan suara langkah bapaknya. Belum dipanggil sudah dating hanya karena mendengar suara langkahnya.
2. Kepekaan pada Roh Kudus. (Gal 2:20; 4:6; 5:25; Kis 16:6-7)
Roh Kudus adalah Guru kita untuk mengajar, menjelaskan, meyakinkan kebenaran Firman Allah, menghibur, dan menolong kita. Dia akan menuntun hati dan pikiran kita untuk melakukan segala hal yang menjadi kehendak Allah. Di dalam Galatia 2:20 Paulus menyatakan bahwa dia hidup bukan lagi oleh dirinya sendiri tetapi oleh Kristus yang hidup dalam dirinya. Itulah Roh Kudus. Dengan demikian, setiap hari Dia akan memimpin kita kepada kehendak-Nya. Paulus sangat peka pada hadirnya Roh Kudus dalam dirinya sehingga dia dapat mengetahui pimpinan-Nya dan mematuhi-Nya (Kis 16:6-7). Kita dapat meneladani Paulus dengan mengembangkan kepekaan untuk mendengar suara Roh Kudus dan merasakan pimpinan-Nya.
3. Kepekaan terhadap panggilan pelayanan. (1 Sam 3; Yoh 1:43-51)
Kitab I Sam 3 mengisahkan pemanggilan Allah kepada Samuel yang masih belia. Saat Samuel tidur, Allah memanggil namanya: “Samuel, Samuel!”. Dengan sigap Samuel segera berlari ke arah imam Eli karena dia menyangka dipanggil oleh imam Eli. Tetapi imam Eli menjawab bahwa dia tidak memanggil Samuel. Sampai 3 kali Allah mengulang panggilan-Nya kepada Samuel, dan 3 kali pula Samuel selalu sigap memberi respon dengan datang dan bertanya kepada imam Eli walau telah dijawab bahwa imam Eli tidak memanggil dirinya. Barulah imam Eli mengetahui bahwa Allah yang memanggil Samuel, karena itu dia memberitahu Samuel, apabila Allah memanggil namanya kembali, dia harus memberi jawab: “Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar" (I Sam. 3:9). Sikap Samuel ini menunjukkan bahwa Samuel adalah seorang yang memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Walau dia dalam keadaan tertidur lelap, dia tetap peka dengan suara yang memanggil dirinya. Bandingkan dengan kita. Samuel bukan sekedar peka dan terbangun dari tidurnya, tetapi kepekaan diri tersebut senantiasa diikuti dengan sikap yang sigap bertindak agar tidak ada tugas yang terlalai.
Dalam Yoh 1:43-51 merupakan kisah pemanggilan Yesus pada murid-murid-Nya yang pertama, yaitu Andreas, Filipus, dan Natanael. Ketiganya sama-sama memiliki kepekaan akan panggilan-Nya namun berbeda dalam cara dan kecepatan merespon-Nya. Andreas mengikuti Yesus karena mendengar pernyataan Yohanes, artinya sebelum Yesus mengajaknya, dia sudah mengikuti Yesus. Filipus diajak dan langsung mengikuti Yesus tanpa bertanya apa-apa. Sedangkan Natanael merasa perlu meyakinkan diri terlebih dahulu sebelum mengikut Yesus. Tapi Yesus justru memuji Natanael dan menubuatkan hal yang besar bagi Natanael. Artinya Yesus menilai bukan dari kecepatan orang dalam merespon ajakan-Nya tetapi dari motivasi orang itu. Cepat bertindak belum tentu benar. Yang dibutuhkan adalah kepekaannya terhadap peristiwa yang dihadapinya.
Panggilan Allah juga terjadi dalam setiap kehidupan kita tetapi belum tentu kita memiliki sikap yang peka seperti Samuel atau ketiga murid Yesus itu. Mungkin berulangkali Allah memanggil kita, namun kita sering lebih memilih tidak peduli dan mengeraskan hati. Kepekaan perlu diikuti dengan kesigapan merespon seperti halnya Samuel, Andreas, dan Filipus. Tapi kadang-kadang respon bisa saja lambat seperti halnya Natanael, tapi Tuhan tidak mempermasalahkan itu. Respon yang cepat belum tentu benar kalau kita salah memahami panggilan-Nya. Betapa vital dan berharganya makna kepekaan hati-nurani dan iman, karena tanpa kepekaan hati-nurani dan iman kita akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh keselamatan dan membagikan berita anugrah itu kepada orang-orang di sekitar kita.
4. Kepekaan sosial. (Yak 1:19-27; Mat 25:35-40; Luk 10:36-37)
Yakobus menekankan pentingnya kehidupan Kristen yang utuh, yaitu bukan saja mendengar dan meneliti Firman, tetapi juga melakukan kebenaran Firman itu. Jemaat Kristen Yahudi pada masa itu masih terperangkap ibadah-ibadah formal-seremonial, menggambarkan orang yang mendengar Firman namun tidak melakukannya sebagai “orang yang bercermin tetapi kemudian lupa akan rupanya sendiri” (1:23-24). Maka di ayat 26-27, Yakobus mengaitkan keutuhan hidup yang melakukan firman dengan konsep ibadah yang “murni dan tak bercacat di hadapan Allah.” Yakobus mengaitkan kemurnian dan kebenaran ibadah dengan aspek kepedulian terhadap sesama, khususnya kaum yang lemah. Kata “ibadah” adalah terjemahan dari kata θρησκεια (dari akar kata sifat ϴρησκοσ atau “beribadah ritual”). Kata ini menggambarkan seseorang yang melakukan aktivitas keagamaan seperti ibadah secara umum, berpuasa, atau memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Di sini Yakobus menekankan ciri ibadah yang murni, yaitu ibadah yang memiliki kuasa yang mengubahkan hidup. Maknanya jelas bahwa ibadah yang benar lebih dari sekedar aktivitas lahiriah. Ia harus lahir dari suatu kondisi kerohanian yang tulus, yang kemudian diekspresikan di dalam tindakan kasih akan sesama dan kekudusan hidup di hadapan Allah.
Ibadah memang dapat diwujudkan dalam suatu relasi penyembahan yang khusus dan pribadi antara orang percaya dengan Allah di dalam satu bentuk seremoni atau liturgi khusus. Namun ibadah seremonial ini harus dinyatakan dalam tindakan sehari-hari dengan cara menyatakan kasih bagi sesama dan kepedulian terhadap segala masalah bangsa ini. Apa yang digambarkan Yakobus sebagai tindakan “mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” merupakan wujud kasih akan sesame, sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus. Kata kerja “mengunjungi” (επεσκεψασθε) juga digunakan dalam Matius 25:36-40, yang memiliki makna “mengunjungi orang yang sakit” bukan semata-mata karena suatu kewajiban sosial, tetapi terlebih untuk memperhatikan kebutuhan mereka secara tulus. Dalam tulisan Matius tersebut dijelaskan bahwa apapun tindakan kasih yang kita nyatakan kepada setiap orang yang paling membutuhkannya adalah sebuah tindakan bagi Kristus sendiri. Sebagaimana halnya yang ditulis di Lukas 10:27-37, Yesus mengajarkan bahwa mengasihi Tuhan harus diwujudkan dengan mengasihi orang lain yang memerlukan bantuan sekalipun orang itu adalah orang yang memusuhi kita.
John Stott dalam bukunya, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, halaman 11, menggambarkan minimnya kepedulian sosial gereja dengan mencatat sebuah sajak seorang wanita miskin yang meminta bantuan seorang pendeta (entah sajak ini nyata ataukah sebuah sindiran):
Saya kelaparan,
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagai kebebasan saya.
Saya telanjang,
dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.
Saya tidak mempunyai tempat berteduh,
dan Anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Saya kesepian,
dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar – dan kesepian – dan kedinginan.
5. Kepekaan untuk tidak menyakiti hati Tuhan. (Mat 21:12-13)
Menyenangkan hati Tuhan bukan hanya melakukan apa yang Tuhan suka tetapi juga tidak melakukan apa yang tidak disukai Tuhan. Kita kadang meremehkan hal kecil, misalnya menyontek di kelas, membicarakan keburukan orang, melanggar marka jalan,dan lain-lain.Tetapi untuk hal keci itupun sesungguhnya kita sudah menyakiti hati Tuhan.
6. Kepekaan dalam komunikasi. (Yak 3:1-12)
Salah komunikasi dapat berakibat fatal maka kita tidak boleh sembarangan berbicara kepada orang lain, baik dalam komunikasi verbal maupun non verbal. Itulah sebabnya Yakobus memperingatkan jemaat duabelas suku di perantauan, khusus mengenai dosa yang disebabkan karena perkataan yang tidak baik. Yesus sendiri sangat berhati-hati dalam berkomunikasi agar perkataan-Nya dapat dimengerti oleh orang-orang. Cara Dia berbicara kepada murid-murid berbeda dengan cara berbicara kepada para Imam, berbeda kepada perempuan Samaria yang dijumpai-Nya di sumur (Yoh 4:1-42), berbeda pula kepada orang banyak. Perumpamaan yang yang sering digunakan Yesus merupakan bukti kepekaan-Nya terhadap pola pikir dan kemampuan orang-orang untuk mengerti ajaran-Nya.
CARA MEMPEROLEH KEPEKAAN
1. Hubungan yang dekat dengan Tuhan (Sate, doa, baca Alkitab).
Mempunyai kepekaan bukanlah dengan mendatangi seminar-seminar, tetapi kita bisa menjadi peka jika hubungan kita dekat dengan Tuhan. Menurut Maz. 73:27-28, menjelaskan bahwa orang yang dekat dengan Tuhan akan menjadi peka sehingga dapat menceritakan pekerjaan Allah bagi orang lain.
2. Penyerahan diri untuk diubahkan. (Rom 12:1-3)
Kalau kita menyerahkan diri secara total, kita akan tahu mana kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Kita harus mau membuka diri untuk diubahkan sehingga menjadi bejana yang indah. Itu butuh perjuangan dan sering harus melewati rasa sakit yang luar biasa. Tapi sesudah semua terlewati, hasilnyapun luar biasa. Untuk membedakan mana yang baik dan mana yang bukan adalah hal yang mudah, tetapi untuk mengetahui kehendak Allah di antara yang baik, itu membutuhkan kepekaan.
3. Menyediakan diri untuk berkorban bagi orang lain. (Mat 20:28)
Tuhan Yesus memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang. Kita perlu belajar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Kita tidak sampai dituntut harus memberikan nyawa seperti Yesus walaupun itu mungkin saja terjadi. Dengan membiasakan diri untuk mau mengulurkan tangan menolong orang lain, kepekaan kita akan makin terasah.
4. Mendengarkan orang lain. (Yak 1:19)
Cepat untuk mendengar adalah perilaku yang menunjukkan sebuah perhatian akan kebutuhan dan perasaan orang lain. Dengan demikian akan muncul empati yang menumbuhkan kepekaan hati kita terhadap orang lain. Dengan mendengar, orang-orang yang berbicara merasa dihargai dan diperhatikan. Lambat untuk berkata-kata adalah pengendalian diri agar kita tidak tergesa-gesa memberi jawaban dan menanggapi pembicaraan orang lain serta tidak tergesa-gesa menyebarkan berita (ayat 26: pengekangan lidah). Lambat untuk marah adalah pengendalian diri agar berpikir dengan seksama apa yang terjadi di hadapan kita, supaya jangan menjadi marah tanpa alasan dan tujuan yang benar.
5. Memberikan perhatian pada segala sesuatu.
Kita berada di dalam sebuah komunitas kecil maupun besar yang beragam model dan warnanya. Seperti Yesus yang dikelilingi oleh banyak orang dengan berbagai keadaan. Semuanya tidak satupun yang luput dari perhatian-Nya. Orang kaya, miskin, berdosa, terhina, orang tua, muda dan anak-anak kecil, orang sakit dan cacat, semua diperhatikan Yesus dengan seksama. Yesus menjadi sangat tahu apa yang diperlukan setiap pribadi yang berbeda-beda itu, dan membuat Dia dapat bersikap dan berbicara dengan kalimat yang tepat pada waktu yang tepat pula.
6. Tekun melatih diri. (Ibr 5:14; 1 Kor 9:27)
Paulus mengajarkan kepada kita, untuk mencapai sebuah tujuan diperlukan ketekunan melatih diri. Dengan berlatih mulai dari yang kecil, lama-kelamaan semakin banyak yang kita tahu dan kita kuasai, kita akan menjadi semakin peka menyikapi banyak hal. Butuh perjuangan keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Tapi jerih payah kita yang berat itu tidak akan sia-sia, karena Tuhan telah menjanjikan mahkota yang abadi bagi orang yang memenangkan pertandingan.
PENUTUP
Memiliki kepekaan hati sangat penting bagi semua murid Kristus. Kita perlu kepekaan hati agar dapat menjalankan tugas-tugas kita di dalam lingkungan dengan baik dan lancar. Kepekaan dapat meminimalisir konflik. Kepekaan dapat membantu kita untuk mengambil sikap yang benar dalam setiap situasi dan kondisi. Kepekaan juga menolong kita untuk dapat mengambil keputusan yang tepat. Karena itu, marilah kita terus belajar menumbuhkan kepekaan kita dalam kehidupan ini agar kita dapat menjadi murid Kristus yang baik.
Komentar
Posting Komentar