MASUK DALAM RENCANA ALLAH 1Allah 1

Masuk Dalam Rencana Allah 1
Ev Iin Tjipto Purnomo Wenas

 Hasil gambar untuk iin tjipto dan mahanaim
Tuhan berbicara pada saya kira-kira pertengahan tahun 2004-2005, bahwa Dia akan menambahkan satu ladang baru untuk pelayanan saya yaitu sebuah panti asuhan. Ketika mendengar hal itu jujur reaksi saya adalah : “Wah Tuhan tambah kerjaan lagi dong....” Tetapi Tuhan berkata : “Panti Asuhan ini akan menjadi tempat penampungan buat anak-anak yang terbuang, yang tertolak, yang ditolak keluarganya, Aku akan membawa kamu untuk menemukan permata-permata yang berharga, batu-batu yang berharga yang dibuang manusia dan Aku membuatnya menjadi berharga.” Dan saya sudah terbiasa setuju dengan apapun yang Tuhan minta, atau inginkan. Jadi waktu itu saya menjawab : “Ya Tuhan apapun keinginanMu.” Saat itu saya berpikir, dengan semua kesibukan saya yang sudah ada, paling-paling panti asuhan masih lama, itukan baru visi yang Tuhan cetuskan, ya mungkin satu tahun lagi.”
 Hasil gambar untuk Rumah Shalom Bekasi
Tetapi saya lupa satu hal bahwa ini adalah akhir jaman dan Allah sedang  mengadakan percepatan kira-kira satu minggu setelah itu, tiba-tiba ada orang yang mencari saya dan dia menceritakan bahwa ada satu anak korban penganiayaan, orang tuanya pecandu narkoba dan sudah berpisah, anak ini tinggal dengan ibunya dan anak ini begitu trauma sangat ketakutan untuk bertemu dengan  ibunya lagi, karena ibunya stress berat dan menyiksanya sehingga dia harus di rawat di rumah sakit. Kemudian saya ditanya : “Ibu mau tidak mengambil anak ini ?” saat itu saya sangat terkejut, saya tidak menyangka bahwa akan secepat itu Tuhan bekerja. Singkat cerita saya berdoa, dan Tuhan berkata : “Seberapa engkau menginginkannya ?” Dan saya menjawab : “Tuhan saya ngeflow aja deh, saya mengikuti apa mau Mu ?” Karena sejujurnya saya merasa tidak siap, tetapi untuk menolaknya juga tidak mungkin.

Ketika Tuhan pertama kali berbicara kepada saya tentang sebuah panti asuhan, dan saya menyetujuinya, saya pikir saya siap untuk itu, tetapi ketika dihadapkan dengan kenyataan saya dapati saya tidak siap sama sekali. Saya tidak siap untuk membayar harganya. Akhirnya saya tidak sungguh-sungguh mendoakannya, saya hanya berdoa sekedarnya saja, doa yang klise, ya Tuhan kalau ini kehendakMu biarlah ini jadi kalau bukan dari Engkau ya dibatalkan.

Kemudian saya sempat mengambil anak itu untuk tinggal dirumah selama beberapa hari, dan jujur walau anak itu sangat atraktif dan cenderung menjengkelkan, tetapi kami sekeluarga jatuh hati padanya. Walau demikian saya mulai mengeluh dengan kenakalan dan keliaran anak itu,  jauh berbeda dengan anak-anak saya, hal ini dapat dipahami dari latar belakangnya, tetapi saat itu saya mulai mengeluh dan mengomel, bukannya berdoa. Saya tidak waspada dan saya mulai merasa bahwa ini merupakan suatu beban, walau dari hati saya, saya suka anak itu, tetapi saya tidak suka dengan tantangannya, dengan pencobaannya.

Lalu tiba-tiba terjadi bahwa keluarga dari ibunya, ibunya sendiri masuk rumah sakit untuk perawatan orang stress datang begitu saja meminta anak itu, padahal dulu tidak ada yang mau mengurusi dan lebih menyakitkan lagi keluarganya mengambil bukan untuk merawatnya dirumah tetapi untuk dimasukkan di panti asuhan di kota mereka. Saat hal itu terjadi hati saya seperti teriris-iris, saya sangat menyesal, seperti ada yang terlepas dalam hidup saya dan saat itu Tuhan berkata : “Seberapa besar engkau menginginkannya, sebesar itulah engkau akan mendapatkannya. Jika engkau tidak sungguh-sungguh menginginkan panggilan itu dan tidak berani membayar harganya, maka iblis akan mengambil itu dari tanganmu.”

Pengalaman ini menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam hidup saya. Saya semakin tahu betapa berharganya sebuah panggilan yang Allah rancangkan untuk setiap kita. Panggilan sangat berharga, karena bisa berarti jiwa-jiwa dan akan mempunyai dampak yang besar. Jika sebuah panggilan lepas dari kita, maka ada sesuatu yang berharga yang hilang dari hidup kita.

Panggilan itu sangat berbeda dengan pekerjaan atau karier yang membuat kita menerima upah. Tetapi panggilan justru menuntut kerelaan kita untuk membayar harganya untuk mendapat mencapai panggilan itu seandainya saya waktu itu sungguh-sungguh berdoa untuk anak itu, untuk keluarganya membawa mereka ke hadapan Tuhan dan berhadapan dengan iblis, saya yakin saat ini anak itu ada bersama-sama dengan saya, tetapi saya tidak melakukannya, saya tidak mau membayar harganya, karena saya sungguh-sungguh tidak menginginkannya.

Jika kita tidak menginginkannya maka percayalah kita pasti tidak akan melakukan tindakan apa-apa untuk dapat memilikinya, apalagi sampai rela membayar harganya demi tercapainya panggilan itu. Inilah yang menjadi masalah dari banyak anak-anak Tuhan, mereka berdoa dan berdoa bertanya Tuhan : Apa PanggilanMu atas hidupku ? tetapi ketika Tuhan menjawab dan mulai membukakan sesuatu, kita berkata : “Ah Tuhan yang benar saja, masa itu panggilan saya sih ? Bukankah itu tidak sesuai dengan saya ? Saya tidak suka model begitu, saya suka yang ini.....?” kenapa hal ini bisa terjadi. Ya, kita selalu berfokus kepada kenyamanan kita. Kita seringkali berpikir bahwa panggilan dan pelayanan kita harus sesuai dengan keinginan kita, ketika panggilan itu membuat kita harus melakukan ini itu yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau bahkan membuat kita harus melepaskan zona nyaman kita, kita mulai ragu dan berpikir “Benarkah ini yang Tuhan mau atas hidupku ?” Akhirnya kita mulai tidak menginginkannya lagi, dan tebaklah ya pasti kita tidak akan memiliki gairah atau kerinduan apa-apa lagi untuk masuk lebih dalam lagi ke dalam panggilan itu..... Bersambung

Jatiwangi, 28 April 2016
By His Grace

Joshua Ivan Sudrajat  

Komentar

Postingan Populer