SALT OF THE WORLD

 *SALT OF THE WORLD - IMPACTFUL GENERATION*

*Joshua Ivan*





Matius 5:13 (TB)  "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.


Shalom 

Pasukan Terdahsyat Tuhan Yesus, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Kita Adalah Garam Dunia.


Kita dilatih untuk menjadi Berkat dan Berdampak Bagi Lingkungan di sekeliling kita.


Dalam Imamat 2:13 dan Yehezkiel 43:24 menunjukkan dengan jelas bahwa garam merupakan bahan kurban penting dalam agama orang Ibrani kuno. “Dan tiap-tiap persembahanmu yang berupa korban sajian haruslah kaububuhi garam, janganlah kaulalaikan garam perjanjian Allahmu dari korban sajianmu; beserta segala persembahanmu haruslah kaupersembahkan garam.” (Imamat 2:13). Juga, garam harus ditaburkan di atas kurban bakaran (Yehezkiel 43:24), dan juga menjadi bagian dalam ukupan yang dipersembahkan di Bait Allah (Keluaran 30:35). Bahkan seorang bayi yang baru lahir dibaluri dengan garam, seperti yang bisa kita baca dalam Yehezkiel 16:4: “Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau tidak digosok atau dibedungi dengan lampin.”


Yesus mengingatkan untuk “selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.” Dalam konteks ini, “garam” digunakan untuk menunjukkan kapasitas untuk memelihara, memurnikan, dan membersihkan, sama seperti api yang membakar ketidakmurnian dan mengubah segala sesuatu menjadi substansinya sendiri (yaitu dengan melahapnya), maka garam mencegah kerusakan, menghentikan pembusukan, dan memelihara segala sesuatu yang terkena garam itu. Singkatnya, garam melindungi sesuatu dari pembusukan. Maka, jelas sekali bahwa Yesus mengundang para murid-Nya untuk memelihara niat baik yang akan “menyedapkan” hubungan positif antara manusia dan “mencegah” komunitas menjadi rusak, supaya komunitas itu “terpelihara” dengan baik. (Markus 9:50)


*Makna Garam*


Garam memiliki fungsi untuk mengawetkan makanan dan membuat makanan memiliki rasa gurih. Tanpa adanya garam maka masakan akan terasa hambar. Sama seperti garam maka kita memiliki peranan dalam masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam masyarakat dan ambil peran yang bisa membantu kesulitan yang dihadapi dalam masyarakat. Menjadi garam berarti kita seharusnya memiliki peranan yang berguna, berguna disini bisa diartikan juga bahwa kita bisa melakukan dan memberikan pertolongan bagi mereka – mereka yang membutuhkan. Bantuan yang kita berikan tidaklah perlu memiliki wujud yang besar. Sebaiknya bantuan yang kita lakukan adalah berasal dari hati kita sendiri, dimana kita ikhlas menjalaninya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.


*GARAM SEBAGAI SIMBOL KUASA ALLAH UNTUK MEMURNIKAN*


Bagaimana kita dapat memahami tentang garam? Apa itu garam? Saya pikir kita semua tahu bahwa garam adalah untuk memurnikan. Ia digunakan untuk mengawetkan. Ia digunakan untuk memberi rasa pada sesuatu yang tawar. Semua arti-arti ini terdapat dalam Perjanjian Lama. Mari kita melihat satu contoh garam digunakan untuk memurnikan, yang merupakan fungsi dari orang Kristen di dalam dunia ini. II Raja-raja 2:19-22 memberitahu kita tentang fungsi garam. Pasal tersebut menceritakan tentang apa yang dilakukan seorang nabi besar yaitu Elisa. Saya akan membacakan bagian ini kepada anda:


“Berkatalah penduduk kota itu kepada Elisa: “Cobalah lihat! Letaknya kota ini baik, seperti tuanku lihat, tetapi airnya tidak baik dan di negeri ini sering ada keguguran bayi.” Jawabnya: “Ambillah sebuah pinggan baru bagiku dan taruhlah garam ke dalamnya.” Maka mereka membawa pinggan itu kepadanya. Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: “Beginilah firman Tuhan: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi.” Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa.”


Dalam pasal ini garam berfungsi untuk memurnikan. Ia memurnikan air yang tidak baik itu. Tentu saja, dalam kasus ini janganlah kita beranggapan bahwa garam yang melakukan pemurnian itu. Tidak! Kita kehilangan maksud yang sebenarnya jika kita berpikir bahwa Elisa melakukan hal itu karena ia tahu banyak tentang kimia, lebih banyak dari orang disekitarnya. Jadi mereka hanya perlu menuangkan garam ke dalam sumur. Jika anda mencobanya, anda akan mendapati garam yang anda tuangkan tidak akan memurnikan air dalam sumur. Kita akan kehilangan maksud rohaninya. Maksud dari tindakan ini terletak pada simbolisme garam. Bukan garam itu yang memurnikan, tetapi kuasa Allah. Perhatikan bahwa garam itu berfungsi hanya karena perkataan Elisa: “Beginilah firman Tuhan” dan air itu menjadi sehat “sesuai dengan Firman yang disampaikan Elisa!” Otoritas kuasa Allah bekerja melalui Elisa. Garam di sini melambangkan kemurnian atau kekudusan dan kuasa kekudusan yang memurnikan.


Simbolisme rohani seperti ini sering digunakan, misalnya di Yakobus 5:14. Yakobus 5:14 mengatakan bahwa: “Anda mendoakan orang yang sakit serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” Nah, untuk apa mengoleskan minyak atas orang sakit? Minyak tidak dapat menyembuhkan kalau dioleskan diluar saja, diatas dahi orang yang sakit. Maksud saya minyak tidak mengandungi khasiat gaib yang dapat menyembuhkan. Kesembuhan bukan didasarkan pada tindakan mengoleskan minyak. Minyak di sini hanya melambangkan kuasa Roh Kudus. Bukan berarti ada khasiat tertentu, tidak ada seorangpun yang dapat disembuhkan hanya dengan diolesi minyak pada dahinya. Sebagai contoh, jika anda sakit, tentu anda tidak akan membeli minyak dan mengoleskan minyak itu di dahi serta berkata “Lihat, aku telah menerapkan firman Tuhan dalam Yakobus 5, mengoleskan minyak didahi dan aku akan baik-baik saja”. Jika dengan mengoleskan sedikit minyak tidak berhasil menyembuhkan, anda mungkin berpikir dengan menuangkan seluruh botol minyak keatas kepala, anda akan sembuh. Tentu saja jika itu yang anda lakukan, anda salah besar karena anda telah kehilangan makna rohaninya.


Minyak hanyalah simbol yang mengingatkan orang yang sakit, saat minyak itu dioleskan, bahwa Allahlah yang sanggup menyembuhkan. Sebagai contoh dari waktu ke waktu, ketika berada di Liverpool, rekan sekerja saya dan saya akan mendoakan seseorang yang sakit. Saat mengoleskan minyak, saya akan menjelaskan pada orang tersebut apa maknanya. Saya akan mengatakan padanya “Minyak ini tidak berkhasiat untuk menyembuhkan. Jangan bayangkan ini adalah minyak ajaib yang dapat anda beli. Itu tidak akan memanfaatkan anda samasekali. Minyak ini untuk mengingatkan anda bahwa bukan saya yang menyembuhkan. Bukan pula minyak ini yang menyembuhkan, tetapi Allah yang menyembuhkan” Tanamkan ini dalam pikiran anda, bahwa minyak hanyalah simbol bagi Roh Kudus. Demikian pula minyak zaitun dalam Perjanjian Lama selalu menjadi simbol bagi pribadi dan kuasa Roh Kudus.


Jadi sama halnya dengan kisah Elisa dalam II Raja-raja tersebut, garam tidak mempunyai khasiat ajaib. Kita tidak tahu  pasti seberapa banyak garam yang dituangkan ke sumur. Pada kenyataannya hanya semangkuk kecil, hanya sedikit garam yang dituang ke dalam sumur. Namun ia melambangkan kuasa Allah yang memurnikan. Itu hanya berarti jika kita mengerti makna rohani yang terkandung didalamnya. Dengan cara yang sama, untuk memahami Matius 5:13, kita harus menyadari bahwa orang Kristen adalah garam dunia, bukan karena sesuatu dalam diri kita, bukan karena karisma khusus atau daya tarik yang kita miliki, tetapi karena kuasa Allah yang bekerja dalam kita. Allah bekerja melalui orang-orang Kristen dan membuat mereka menjadi garam. Bukan kita sendiri adalah garam, tetapi Allah, kuasa-Nya, kualitas Allah yang terdapat didalam kita yang menjadikan kita sebagai garam. Tanpa Allah di dalam kita, kita tidak berarti apa-apa, kita sama sekali tidak berarti. Itulah kenyataannya. Kita jangan membayangkan bahwa ada hal yang istimewa dalam diri orang Kristen. Kristus yang ada dalam diri kita yang membuat kita menjadi siapa kita sesungguhnya. Dalam hal ini, anda bisa melihat bahwa kita bergantung sepenuhnya pada kuasa Allah. Semuanya adalah karena anugerah-Nya.


*GARAM MENYUCIKAN DARI KECEMARAN DAN KEJAHATAN*


Garam berkuasa menyucikan dari kecemaran dan kejahatan. Terdapat satu lagi contoh di Hakim-hakim 9:45, kisah tentang perjuangan Abimelekh merebut Sikhem. Setelah merebut kota tersebut, ia menaburi kota itu dengan garam. Saya banyak mendengar penafsiran yang salah tentang pasal ini karena mereka tidak membaca dengan berhati-hati. Mari kita lihat Hakim-hakim 9:45


“Sehari-harian Abimelekh berperang melawan kota itu – melawan kota Sikhem yang termasyur -, ia merebut kota itu dan membunuh orang-orang yang didalamnya; kemudian dirobohkannya kota itu dan ditaburinya dengan garam”.


Abimelekh menaburkan garam. Saya pernah mendengar orang berkata “Jika anda menaburi ladang dengan garam, tanahnya menjadi tandus ” dan hal-hal seperti ini. Pernyataan seperti ini tidak berarti samasekali. Tidak dikatakan bahwa Abimelekh menaburkan garam ke ‘ladang’; tetapi ke atas kota Sikhem. Kota itu ditaburi garam. Kita tidak menanam sesuatu di kota. Menaburkan garam tidak akan membuat kota menjadi tandus. Maksud saya, seseorang bisa saja membangunkan sebuah rumah di atas tanah  yang telah ditaburi garam itu. Ini sama sekali tidak ada berhubungannya dengan pertanian. Apa yang dilambangkan oleh Abimelekh adalah bahwa kota itu harus dimurnikan dari segala kejahatan. Cara hidup yang lama harus ditinggalkan, sehingga menjadi kota Sikhem yang baru.


Pada kenyataannya, kita tahu dari sejarah bahwa kota Sikhem, tidak dihancurkan sehingga kota itu tidak dapat dibangun kembali. Menurut sejarah kota Sikhem bahkan tetap berdiri sampai abad pertama, sampai pada akhirnya dihancurkan oleh tentara Romawi. Kota Sikhem tetap menjadi kota penting sepanjang masa. Sikhem mengalami sejarah yang panjang. Seringkali kota ini dikepung dan diserang. Serangan Abimelekh untuk menghancurkan kota Sikhem hanyalah salah satu diantaranya. Dan tentu saja menaburkan garam keatasnya bukan berarti penghancuran kota tersebut untuk selamanya. Sama sekali tidak! Sikhem segera dibangun dan diduduki kembali. Jadi jelaslah bahwa tujuan garam itu ditaburkan hanyalah sebagai simbol. Tentu dibutuhkan biaya yang sangat besar jika garam harus ditaburkan keseluruh kota. Menaburkan garam ke kota Sikhem hanyalah suatu simbol tindakan rohani, sebagai tanda bahwa kota Sikhem harus dimurnikan, dan kota itu harus meninggalkan cara hidupnya yang lama. Itulah yang  seharusnya terjadi pada kita sebagai orang Kristen.


Kita dimurnikan dengan meninggalkan cara hidup yang lama, yaitu saat garam itu masuk dalam hidup kita dan sampai pada akhirnya kita pun menjadi garam. 


Ini mengingatkan kita akan adanya tahap dimana kita menerima terang dan kemudian menjadi terang. Seperti Paulus katakan pada jemaat di Efesus 5:14, “Itulah sebabnya dikatakan: Bangunlah hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu!” Setelah kita menerima terang Kristus, kita menjadi terang. Demikian pula saat kita menerima kuasa Allah yang memurnikan kita, yang digambarkan dengan garam, sebagai simbol dari kuasa Allah dalam Roh Kudus, kita diubahkan dan kita juga menjadi garam.


*APA YANG DILAMBANGKAN OLEH GARAM?*


Untuk memahami hal ini, kita harus bertanya: apa yang dilambangkan oleh garam? “Kamu adalah garam”. Adakah sesuatu yang lebih khusus? Mari kita membuka Kolose 4:5-6 di mana Paulus menggunakan gambaran garam:


“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.”


Paulus mengatakan “Sebagai orang Kristen hendaklah kata-katamu jangan hambar”. Dalam bahasa asli, “hendaklah kata-katamu dibumbui garam.” Apa artinya? Apakah ini berarti setiap saat kita harus menuangkan garam ke dalam mulut sehingga perkataan kita dibumbui garam? Dari sini kita dapat melihat makna rohani dari garam, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa tidak ada hubungannya dengan garam secara harfiah. Jadi garam menandakan apa? Ketika saya membumbui kata-kata saya dengan garam, dengan apa sebenarnya saya membumbui jika yang dimaksudkan bukanlah garam yang sesungguhnya? Di sini kita harus berusaha untuk memahami apa yang diwakili oleh garam, karena kecuali saya memahaminya, saya tidak tahu bagaimana menggenapi ajaran Alkitab, agar perkataan kita tidak hambar.


Ada sebuah petunjuk, tapi jika anda membacanya dalam Alkitab bahasa Indonesia maka anda tidak akan menemukannya karena petunjuknya tidak tampak samasekali. Dalam bahasa Indonesia, petunjuknya tidak tampak samasekali. Karena itu seringkali saya menekankan, khususnya bagi yang mengikuti trening, betapa pentingnya untuk memahami bahasa asli karena sebagai seorang ekspositor, anda tidak bisa hanya bergantung pada makna kata dalam bahasa Indonesia. Petunjuknya terdapat dalam Mat 5:13. Apa yang anda baca disitu? Dikatakan bahwa “Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar…….?” Nah, terjemahan ini sebenarnya kurang tepat. “Garam itu menjadi tawar”, dalam bahasa Yunani, makna sebenarnya ialah “Garam itu menjadi bodoh”. Nah, jelaslah penterjemah tidak dapat menerjemahkan sebagai “jika garam itu menjadi bodoh” karena, bagaimana mungkin garam menjadi bodoh? Karena itu, ia menganggap bahwa “menjadi bodoh” berarti “menjadi tawar”. Dengan cara demikian, kita kehilangan satu petunjuk yang penting untuk arti garam. Jika garam menjadi bodoh, itu memberi kita satu petunjuk untuk arti garam. Para ilmuwan tahu bahwa kata “bodoh” di sini dalam bahasa Yunani bukan berarti “tawar”, atau “kurang asin”. Artinya adalah “benar-benar bodoh”, tidak ada makna lain yang dapat menggantikannya. Ia tidak mempunyai arti yang lain. Para penterjemah  Alkitab telah melakukan satu tafsiran. Setidak-tidaknya mereka harus memberitahu kita apa kata yang sebenarnya dalam bahasa asli, khususnya bagi mereka yang tidak tahu bahasa Yunani.


Ini merupakan satu petunjuk bagi kita. Apakah petunjuk itu? Sangatlah jelas. Jelaslah bahwa garam menunjukkan ‘spiritual wisdom’/hikmat rohani. Tentu saja jika kita kehilangan hikmat rohani, kita menjadi bodoh. Di sini maknanya sangat jelas. Lawan dari kebodohan adalah hikmat. Jika diterjemahkan dengan “tawar” tentu itu akan menghilangkan petunjuk itu. Ini sangat penting bagi kita untuk mengerti.


Petunjuk ini muncul dalam beberapa cara. Misalnya, ada satu kata Ibrani yang mempunyai makna ganda yaitu “kurang rasa” dan juga “bodoh” pada waktu yang sama. Kata ini digunakan dalam Ayub 6:6 “Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam atau apakah putih telur ada rasanya?” Kecuali dibubuhi garam, kalau tidak, ia rasa tawar. Kata bahasa Ibrani itu juga bermakna “bodoh”, “tidak berasa”, “tidak bermoral”. Sangat penting bagi kita untuk memahami hal ini, karena hikmat dalam arti rohani bukan bermakna pandai samasekali. Itu bukan maknanya. Hikmat secara rohani mempunyai makna yang berbeda dari kepandaian.


Only By His Grace

15 Agustus 2021


Joshua Ivan Sudrajat


Komentar

Postingan Populer