PEREMPUAN SUNEM

PEREMPUAN SUNEM




Shalom


Pasukan Terdahsyat Tuhan Yesus Kristus, Pagi Ini Tuhan memberikan kepada saya untuk mempelajari Perempuan SUNEM dan Elisa.


2 Raja-raja 4:8-10 (TB)  Pada suatu hari Elisa pergi ke Sunem. Di sana tinggal seorang perempuan kaya yang mengundang dia makan. Dan seberapa kali ia dalam perjalanan, singgahlah ia ke sana untuk makan.

Berkatalah perempuan itu kepada suaminya: "Sesungguhnya aku sudah tahu bahwa orang yang selalu datang kepada kita itu adalah abdi Allah yang kudus.

Baiklah kita membuat sebuah kamar atas yang kecil yang berdinding batu, dan baiklah kita menaruh di sana baginya sebuah tempat tidur, sebuah meja, sebuah kursi dan sebuah kandil, maka apabila ia datang kepada kita, ia boleh masuk ke sana." 


Perempuan Sunem dan suaminya ini memiliki hati yang mengasihi Tuhan dan punya roh yang menyala-nyala dalam melayani Tuhan, tapi mereka juga mengalami masalah yang tak bisa dipandang remeh yaitu tidak mempunyai anak.  Sekalipun mengalami masalah yang berat, semangat keluarga ini dalam melayani Tuhan tak pernah surut.  Berbeda sekali dengan orang-orang Kristen di zaman sekarang, ketika ada masalah mereka justru mudah sekali kecewa dan mundur dari pelayanan.  Justru di tengah masalah seharusnya kita semakin mendekat kepada Tuhan dan giat melayani Dia.  Percayalah bahwa jerih lelah kita dalam melayani Tuhan tidak pernah sia-sia.  Berkatalah Elisa  (abdi Tuhan)  kepada perempuan Sunem:  "'Pada waktu seperti ini juga, tahun depan, engkau ini akan menggendong seorang anak laki-laki.' Tetapi jawab perempuan itu: 'Janganlah tuanku, ya abdi Allah, janganlah berdusta kepada hambamu ini!' Mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan seorang anak laki-laki pada waktu seperti itu juga, pada tahun berikutnya, seperti yang dikatakan Elisa kepadanya."  (ayat 16-17).  Tidak ada perkara yang mustahil bagi Tuhan!  Proses hidup yang harus dilalui keluarga ini tidak berhenti sampai di situ, anak yang diberikan Tuhan itu mati  (ayat 20).


     Perempuan Sunem pun datang kepada Elisa dan meminta pertolongan.  Meski tahu anaknya sudah mati, ibu ini tetap memperkatakan iman:  "'Selamatkah engkau, selamatkah suamimu, selamatkah anak itu?'" Jawab perempuan itu: 'Selamat!'"  (ayat 26).  Lalu Elisa menyuruh Gehazi datang kepada keluarga ini, tapi tidak terjadi apa-apa.  Akhirnya Elisa sendiri yang datang dan bertindak, mujizat terjadi:  anak itu hidup kembali!  Ketekunan dan kesabaran perempuan Sunem ini pun terbayarkan.


Ada beberapa karakter yang dimiliki oleh perempuan Sunem sehingga kita dapat menyebut dirinya sebagai seorang perempuan yang beriman, bahkan amat besar imannya.


1. Dia tertarik pada hal-hal rohani. Tindakan mengundang seorang abdi Allah untuk makan di rumahnya, bagi saya merupakan suatu pertanda bahwa dia adalah seorang yang tertarik dengan hal-hal rohani.

Perhatian perempuan itu tidak hanya ditujukan pada soal-soal bisnis atau urusan rumah tangganya saja, tetapi dia memberikan perhatian juga pada perkara-perkara rohani. Dengan mengundang Elisa untuk singgah di rumahnya, paling tidak dia berharap dapat mendengar sesuatu dari mulut Elisa. Dia merindukan firman Tuhan yang disampaikan oleh abdi Allah itu.


Saya yakin bahwa kebiasaannya berkomunikasi dengan hamba Tuhan itu menimbulkan iman/percaya yang kokoh di dalam hatinya. Sama seperti apa yang dikatakan dalam Roma 10:17, "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." Firman Tuhan yang menjadikan kita kuat di dalam iman.


2. Dia menghormati suaminya. Iman yang dewasa dari perempuan itu menghasilkan suatu kehidupan yang baik. Iman itu menyebabkan dia sanggup menjadi perempuan yang hidup sesuai dengan kehendak Allah. Menurut ketetapan Allah, seorang istri harus tunduk kepada suaminya (Efesus 5:22; 1 Petrus 3:1-5). Demikian juga, perempuan Sunem itu menghormati suaminya. Kita dapat melihat sikapnya itu dari cara dia mengambil keputusan. Dia tidak mengambil keputusan sendiri, tetapi terlebih dahulu merundingkan keputusan yang akan diambilnya itu dengan suaminya. Kitab 2 Raja-raja 4:9-10 berkata, "... Sesungguhnya aku sudah tahu bahwa orang yang selalu datang kepada kita itu adalah abdi Allah yang kudus. Baiklah kita ...."

Kehancuran rumah tangga sering terjadi karena istri ingin bertindak menurut kemauannya sendiri tanpa mengajak suami untuk berunding. Misalnya, istri ingin membeli lemari es. Tanpa persetujuan suami, langsung dia memakai uang tabungan keluarga untuk membeli lemari es yang diinginkannya. Akibatnya, suami menjadi tersinggung karena dia tidak diajak berunding. Lalu, terjadilah percekcokan di antara keduanya.


Setiap orang mengambil keputusan penting, istri seharusnya mengajak suami untuk berunding. Seperti perempuan Sunem, dia tidak memutuskan sendiri untuk menyediakan kamar bagi Elisa. Dia mengajak suaminya berunding untuk membuat sebuah kamar di loteng bagi Elisa. Andaikan perempuan itu tidak mengajak suaminya berunding, pasti akan kacau jadinya. Suaminya akan bertanya-tanya, "Lho, istrinya kok membuat sebuah kamar untuk laki-laki lain?" Bisa-bisa suaminya menjadi curiga dan marah.


Rundingkanlah segala sesuatu dalam rumah tangga dengan suami Anda. Meskipun suami Anda mungkin lebih bodoh daripada Anda, Anda harus tetap meminta pertimbangan dari dia. Kalau dia tidak setuju, Anda harus tetap menghormati dia, sebagaimana firman Tuhan mengatakannya. Suami itu adalah teman pewaris dari kasih karunia Allah (1 Petrus 3:7). Bagaimanapun kedudukan suami Anda, Anda harus tetap menghormati dia.


Jika Anda ingin rumah tangga Anda bahagia, rundingkanlah segala sesuatu dengan suami Anda. Tuhan sudah menjodohkan Anda dengan suami Anda. Dua orang yang telah disatukan, keduanya menjadi sehati dan setujuan, serta tidak berjalan menurut kemauannya sendiri. Tukar pikiran merupakan jalan terbaik untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.


3. Dia tahu alamat yang tepat untuk persoalannya. Alkitab mengisahkan bahwa akhirnya perempuan Sunem itu mendapatkan seorang putra. Lalu, setelah anak itu menjadi besar, pada suatu hari dia berlari-lari ke sawah untuk menjumpai ayahnya yang sedang mengawasi para penyabit gandum yang sedang bekerja. Tiba-tiba anak itu menjerit kesakitan, "Aduh kepalaku, kepalaku!" (2 Raja-raja 4:18-19).

Anak itu dibawa kepada ibunya dan oleh ibunya dia dipangku. Dari sikap ibu ini, saya melihat ada suatu penghargaan yang besar terhadap pemberian Tuhan. Ibu ini sadar bahwa anak yang ada di tangannya itu adalah pemberian Tuhan saja. Dan karena pemberian Tuhan maka dia harus dihargai. Anak yang sakit itu tidak diletakkan di atas tempat tidur, tetapi dipangkunya sendiri dengan kasih sayang.


Disebutkan dalam Alkitab bahwa anak itu akhirnya mati dipangkuan ibunya. Kemudian dia menggendong anaknya dan membawanya ke kamar Elisa, lalu membaringkannya di atas tempat tidurnya. Meskipun perempuan Sunem itu amat sayang kepada anaknya dengan sikap yang tenang, dia tidak gugup. Mungkin kalau perempuan sekarang yang menghadapi peristiwa itu, dia tentu sudah berteriak-teriak, menjerit, dan menangis sejadi-jadinya. Akan tetapi, perempuan Sunem dengan tenang menghadapi kematian anaknya. Mengapa dia dapat bersikap setabah itu? Oleh karena dia tahu bahwa ada sumber pertolongan yang dapat diandalkan. Dia tidak perlu gugup dan hilang akal. Dia tahu apa yang harus dia perbuat. Dengan tenang dia dapat mengerjakan semuanya karena dia mempunyai keyakinan yang kokoh pada pertolongan dari atas. Bukan mulutnya yang pegang peranan, tetapi imannya. Itulah tipe ibu rumah tangga yang baik.


Setelah meletakkan anaknya di kamar Elisa, dia pergi untuk menemui Nabi Elisa. Dia tahu ke mana dia harus pergi membawa persoalannya. Lalu, dia berkata kepadanya suaminya agar menyuruh seorang pembantu untuk membawa seekor keledai kepadanya. Dengan keledai itu, perempuan Sunem berangkat ke gunung Karmel untuk menjumpai Elisa. Dari jauh Elisa sudah melihat bahwa perempuan itu datang dengan mengendarai keledai. Elisa mengutus bujangnya, Gehazi, untuk menyongsong perempuan itu dan menanyakan apakah dia, suami, dan anaknya selamat. Gehazi berlari menyongsong perempuan itu dan bertanya seperti yang diperintahkan Elisa. Ketika ditanya demikian, wanita itu hanya menjawab, "Selamat."


Perempuan itu tidak mau menceritakan persoalan yang sedang dihadapinya kepada Gehazi. Dia tidak mau meminta pertolongan dari Gehazi. Dia hanya mau datang kepada Elisa. Setelah bertemu dengan Elisa, dia menumpahkan segala perasaannya di hadapan Elisa. Sesungguhnya Elisa ingin mengutus Gehazi untuk menolong anak yang sudah meninggal itu, tetapi perempuan itu tidak mau. Dia minta supaya Elisa sendiri yang datang. Akhirnya, Elisa pergi juga ke rumah perempuan itu. Alkitab mengatakan bahwa anak yang sudah mati itu kemudian hidup lagi. Mengetahui alamat yang tepat untuk menyerahkan persoalan kita merupakan cara yang baik dalam menyelesaikan setiap persoalan rumah tangga.


Kadangkala kita tidak tahu alamat yang tepat untuk menyerahkan persoalan kita, bahkan sering kali kita keliru/salah alamat dalam membawa persoalan kita. Kita sering kali mengutarakan persoalan kita pada orang yang tidak tepat sehingga hal itu akhirnya mendatangkan rasa malu pada diri kita sendiri. Saya sering melihat ada banyak ibu rumah tangga yang membuka mulut tentang persoalan keluarganya pada sembarang orang. Akibatnya, semua tetangga dan pembantu rumah tangga orang lain sampai tahu persoalan di dalam keluarga itu. Seharusnya kita tidak boleh mengutarakan persoalan rumah tangga kita kepada sembarang orang.


Kita harus pandai menjaga mulut kita. Kita harus tahu kapan kita harus bicara dan kapan kita harus diam. Alkitab berkata bahwa segala sesuatu ada masanya. Ada waktu untuk bicara, tetapi juga ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk membuka mulut, tetapi ada waktu untuk menutup mulut. Kita harus memahami hal ini dengan baik agar kita menjadi orang yang bijaksana. Alkitab berkata, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21)


4. Dia yakin apa yang diberikan Allah tidak akan diambil lagi. Dari kisah perempuan Sunem dan anaknya itu, kita dapat melihat satu prinsip lagi, yaitu bahwa apa yang sudah diberikan oleh Allah kepada anak-Nya tidak akan diambil-Nya lagi. Allah sudah memberikan seorang anak kepada perempuan Sunem itu. Memang anak itu kemudian mati. Namun, itu tidak berarti Allah mengambil kembali pemberian-Nya. Akhirnya anak itu hidup kembali. Ibu itu telah mendapatkan kembali anaknya.

Mungkin Anda bertanya, apakah prinsip ini tidak bertentangan dengan Ayub 1:21b ("TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN.") Ayub diberkati Tuhan secara luar biasa pada mulanya. Kemudian Tuhan mengizinkan iblis untuk mencobai dia. Dia menjadi miskin kembali. Memang itu benar, tetapi apakah itu berarti bahwa rencana Tuhan adalah supaya Ayub miskin kembali dan miskin untuk selamanya? Tidak! Setelah Ayub lulus dalam pencobaan, Tuhan mengembalikan segala kekayaan Ayub, bahkan dua kali lipat dari kepunyaannya dulu (Ayub 42:10).


Apa yang dialami perempuan Sunem dalam kisah di atas hampir serupa dengan apa yang dialami Ayub. Untuk sementara waktu itu dibiarkan Tuhan mati, tetapi kemudian Tuhan mengembalikan lagi nyawa anak itu. Tuhan tidak pernah mengambil kembali apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita.


Dialah Allah kita, Allah yang amat baik. Dia yang sudah memberi, pasti tidak akan mengambil lagi. Bahkan, sebenarnya Dia ingin memberkati kita dengan lebih banyak lagi dari yang sudah Dia berikan. Akan tetapi, yang dituntut dari kita adalah iman/percaya yang sungguh dan terus-menerus, meskipun kita dilanda pencobaan untuk seketika lamanya.


Sion 27 Oktober 2021

Only By His Grace


Joshua Ivan Sudrajat

Komentar

Postingan Populer