Penghalang-Penghalang untuk Bermisi
Penghalang-Penghalang untuk Bermisi
Jika menghitung masalah dan penghalang, akan
banyak sekali yang bisa kita lihat. Saya mencoba tidak terlalu "negative
thinking" dalam melihat beberapa hal yang umumnya terjadi yang
menghambat kita untuk menjalankan tugas misi secara luas. Ada banyak
faktor di dalamnya. Kita juga bisa melihat sejarah gereja dalam konteks
kita masing-masing. Saya tidak ingin membahas mengenai hal itu di sini.
Saya juga tidak bermaksud mencari siapa yang salah, siapa yang benar.
Saya hanya mencoba melihat beberapa hal yang mungkin sekali kita alami.
SINDROM MINORITAS: BELAJAR DARI YUSUF
Sindrom
minoritas mungkin sekali dirasakan oleh orang-orang percaya yang
tinggal di tengah-tengah mayoritas orang yang belum mengenal Tuhan. Hal
ini adalah gejala yang wajar secara manusiawi, tetapi dalam pandangan
Alkitab itu bukan suatu alasan bagi kita untuk tidak menjadi saksi
Tuhan. Perasaan sebagai minoritas mungkin menghinggapi banyak orang
percaya di negara-negara berkembang, seperti juga di Indonesia. Hidup
dalam kemampuan ekonomi yang terbatas di tengah- tengah komunitas
masyarakat yang rentan terhadap gejolak sosial dapat menjadi alasan
orang percaya untuk mengesampingkan perhatiannya dari tugas misi Gereja.
Sudah
menjadi hal yang lumrah bila kita tidak punya nyali untuk menyuarakan
kebenaran firman Allah. Tantangan di sekitar kita begitu besar dan
kompleks. Akan tetapi, ingatlah bahwa lilin itu kecil, tapi menerangi
kegelapan yang besar. Garam itu sedikit, tapi memberi rasa pada masakan
yang banyak.
Yusuf merupakan tokoh yang menarik dalam
kitab Kejadian. Ia mendapatkan visi yang jelas dari Allah melalui
mimpinya. Untuk itu, dia harus menunggu belasan tahun sampai visi itu
digenapi dalam hidupnya melalui berbagai proses pembentukan Tuhan. Ia
dianiaya saudara-saudaranya, bahkan dijual menjadi budak di Mesir.
Ketika di Mesir, Yusuf hidup di rumah Potifar, seorang pejabat tinggi
yang tidak mengenal Tuhan. Yusuf bukan hanya minoritas, tapi juga
seorang asing yang hidup di tengah lingkungan yang berkebudayaan lain
dengan dirinya. Sebagai orang percaya dia hanya sendirian. Sungguh pun
begitu, Tuhan menyertai Yusuf sehingga ia menjadi seorang yang selalu
berhasil dalam pekerjaannya (Kejadian 39:2).
Yusuf menjadi kesaksian yang luar biasa.
Sebagai anak Tuhan yang berintegritas, Yusuf menjadi berkat. Tuhan
menyertainya karena dia hidup berkenan kepada Tuhan. Penyertaan Tuhan
berarti kehadiran Tuhan. Kehadiran Tuhan berarti berkat-Nya ada.
Meskipun Yusuf digoda oleh isteri Potifar, ia bertahan untuk hidup kudus
di hadapan Tuhan. Dia menolak rayuan istri Potifar semata-mata bukan
karena takut kepada Potifar, tapi dengan tegas dia menyatakan sikapnya.
"Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" (Kejadian 39:9).
Yusuf tidak mau berbuat dosa bukan karena
takut ketahuan manusia, tapi karena takut akan Tuhan. Integritas itu
dibayar mahal dengan fitnahan. Nama baiknya rusak, bukan karena
kesalahannya, tapi karena dia menjaga kekudusan di hadapan Tuhan.
Serangan Iblis senantiasa ditujukan pada
titik lemah kita, yaitu hal yang paling berharga bagi kita. Amsal 22:1
berkata bahwa nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar. Dalam
membawa kesaksian kristiani di ladang misi, seorang penginjil harus
diterima dulu sebelum Injil diterima. Dalam konteks yang luas menyangkut
masalah budaya dan aspek-aspek lain, biasanya Iblis merusak dan
menyerang nama baik si pembawa Kabar Baik untuk menggagalkan
pemberitaannya. Integritas Yusuf juga harus dibayar dengan penjara yang
sesak. Namun, karena hidup berkenan kepada Tuhan, di penjara pun Yusuf
mengalami penyertaan Tuhan. Apa yang diperbuatnya selalu berhasil dan
dia menjadi berkat bagi orang lain di dalam penjara.
Yusuf hidup menderita sebagai seorang yang
percaya kepada Tuhan di tengah-tengah negeri yang seluruh penduduknya
tidak mengenal Tuhan. Kendati demikian, Yusuf tidak meratapi
kesengsaraan dan penderitaannya apalagi menyalahkan Tuhan. Di dalam
krisis kehidupan di tengah lingkungan yang sulit, Yusuf tetap hidup
berkenan kepada Tuhan sehingga hidupnya menjadi saksi dan kemuliaan bagi
Tuhan dan orang lain pun mendapat berkat.
Alkitab mencatat bahwa setelah tahun-tahun
penderitaannya berlalu ia justru menjadi orang yang terkemuka di Mesir.
Ia menjadi saluran berkat bagi seluruh rakyat Mesir melalui hikmatnya
dalam mengelola perekonomian Mesir. Akhirnya, Tuhan memimpin keluarganya
datang, menetap di Mesir, dan berkembang menjadi sebuah bangsa yang
besar. Yusuf adalah salah satu contoh orang percaya yang tidak
"dikuasai" oleh sindrom minoritas.
KELOMPOK KECIL YANG BERKUALITAS: BELAJAR BARI DANIEL
Sebagaimana Yusuf, Daniel bersama
kawan-kawannya, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego juga tinggal di negeri
asing sebagai kaum buangan. Bersama orang-orang Yahudi lainnya mereka di
tawan oleh Raja Nebukadnezar sebagai rampasan perang. Tentunya mereka
menjadi kaum minoritas di negeri Babilonia, minoritas dari segi
kebangsaan maupun kepercayaan. Mereka bersedia diganti namanya dengan
nama kafir dan membaur dengan budaya setempat di mana mereka hidup.
Namun dalam hal makanan, mereka mengambil sikap tegas karena berkaitan
dengan iman kepercayaan yang tidak mau mereka kompromikan. Mereka
terseleksi untuk mengikuti semacam pelatihan profesional yang diadakan
oleh institusi kerajaan Babel sehingga mempunyai kesempatan belajar
bahasa dan budaya setempat, sekaligus keahlian dan keterampilan yang
diperlukan untuk menjadi pegawai istana raja.
Allah
memberkati mereka dan mengaruniakan hikmat serta kepandaian kepada
mereka (Dan. 1:17). Apakah setelah mempunyai pekerjaan yang baik di
istana raja mereka menjadi tidak setia kepada Tuhan? Faktanya tidak
demikian. Sebaliknya, kesetiaan mereka terhadap Allah beberapa kali
menempatkan mereka dalam bahaya bahkan mengalami ancaman maut. Iman yang
teguh kepada Tuhanlah yang membuat mereka bergeming terhadap ancaman
Raja Nebukadnezar. Ini menjadi kesaksian yang luar biasa sehingga Raja
Nebukadnezar pun beberapa kali memuji Allahnya Daniel (Dan. 2:47;
3:28-29; 4:34-37). Kesaksian hidup Daniel pun tetap tidak berubah
meskipun kerajaan demi kerajaan berganti di wilayah Persia itu. Ia tetap
setia kepada Tuhan sampai masa tuanya dan hidupnya sungguh-sungguh
menjadi berkat dan kesaksian yang memuliakan Tuhan.
Dari keempat orang muda ini kita melihat
bahwa mereka tidak menjadi minder dan meratapi keminoritasan mereka,
sebaliknya mereka mengagungkan kebesaran Allah yang hidup melalui iman
mereka dan mampu untuk tidak kompromi dengan penyembahan patung berhala
dan cara hidup kafir yang merupakan kekejian bagi Tuhan. Mereka
menyinarkan kebenaran dan keagungan Tuhan Allah mereka ditengah- tengah
kegelapan yang pekat. Mereka memandang kepada Tuhan, bukan kepada
lingkungan yang mengintimidasi mereka sehingga mereka sanggup berperan
efektif sebagai saksi Tuhan di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang
belum mengenal Tuhan.
Krisis membuat seseorang harus bergulat untuk
mempertahankan hidup. Karenanya, kecenderungan untuk memandang
kebutuhan diri sendiri menjadi besar. Salah satu akibat kejatuhan
manusia dalam dosa yang berupa pementingan diri sendiri menjadi hal yang
lumrah. Ditambah dengan krisis dan penderitaan, manusia menjadi lebih
cenderung terbawa ke arah itu. Pertanyaan yang menjadi salah satu ciri
budaya masa kini adalah "Mana oleh-olehnya?", bukannya berkata, "Ini
bekal untuk bepergian." Barangkali ini salah satu contoh sederhana yang
menunjukkan bahwa kita cenderung mengulurkan tangan untuk meminta dan
bukan mengulurkan tangan untuk memberi. Kebutuhan diri sendiri rasanya
tidak pernah cukup. Pergumulan dan masalah rasanya tidak habis-habisnya.
Kita tidak sempat lagi memandang ke luar dan melihat kebutuhan orang
lain karena terlalu sibuk memandang ke dalam. Dalam kemitraan atau
`kerja sama` kita juga cenderung mencari peluang; "Apa yang bisa
kuterima?" dan bukannya "Apa yang bisa kuberikan?".
PELAYANAN KRISTIANI YANG "CHURCH/CHRISTIAN-ORIENTED"
Pada
umumnya orang percaya di Indonesia berpikir bahwa melayani Tuhan
berarti melayani orang-orang percaya, melayani untuk kalangan sendiri.
Persiapan dalam studi formal teologi juga lebih menitikberatkan
persiapan untuk hamba-hamba Tuhan yang akan melayani orang-orang
Kristen. Di satu sisi, gereja-gereja memang membutuhkan pendidikan
Kristen yang memadai. Karena itu, amatlah penting untuk menyiapkan para
pemimpin yang terdidik dengan baik. Di samping itu, seorang hamba Tuhan
adalah juga seorang yang mempunyai jabatan gerejawi: pendeta, penginjil,
dan pengajar. Tuhanlah yang menetapkan hal-hal tersebut (Ef. 4:11-12).
Di sisi lain, kita cenderung lebih berfokus
`ke dalam`. Pelayanan kristiani kita hampir seluruhnya di dalam gereja
dan hanya melayani orang-orang Kristen saja. Perhatian kita seluruhnya
terserap hanya untuk memikirkan gereja-gereja kita. Sangat sedikit
gereja yang memerhatikan pekerjaan misi yang perhatiannya ditujukan pada
dunia di luar tembok gereja, hal yang membuat `hamba Tuhan` aman di
dalam lingkungan gereja, di tengah-tengah lingkungan orang-orang
Kristen. Hamba-hamba Tuhan ini hidup nyaman dan aman bagaikan di dalam
`menara gading`.
Tidak demikian halnya dengan realitas misi
Allah melalui kedatangan Kristus ke dunia. Ia hadir bagi sesama-Nya,
bukan hanya di kalangan orang-orang beragama, ahli-ahli Taurat, dan
orang Farisi. Sebaliknya, Ia justru lebih banyak mengecam mereka. Yesus
mewujudkan misi Allah bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat
kita lihat dalam seluruh catatan keempat Injil. Yesus tidak mencari
lingkungan yang aman demi kenyamanan diri. Sebaliknya, Ia menjadi
rentan, mudah diserang, disalahmengerti, dan difitnah di sana-sini.
Bermisi dengan mencontoh model Kristus itulah yang harus dijiwai oleh
gereja-gereja kita.
Amatlah menarik untuk memerhatikan bagaimana
Rasul Paulus menyebut dirinya `hamba` Kristus Yesus. Sebutan `hamba`
yang digunakan Paulus dalam surat-surat menurut bahasa aslinya berarti
budak (douloi/ doulos). Ia mengindentifikasikan dirinya tidak lebih dari
apa yang dicontohkan Kristus dalam pelayanan-Nya. Ia cuma budak
Kristus. Pemahaman ini dijiwainya dalam seluruh kehidupan dan
pelayanannya.
Paulus menjadi begitu rentan terhadap
berbagai macam kesulitan, penderitaan, penganiayaan, fitnahan, bahaya,
bahkan maut. Ia menyaksikan itu dalam surat-suratnya kepada jemaat di
Asia Kecil. Ia bukan berada dalam lingkungan yang aman. Ia seringkali
merisikokan dirinya dalam bahaya demi Injil Kristus. Ia menghayati misi
Kristus dengan keseluruhan hidup, kata, dan karyanya. Inilah yang
membuat Paulus `tahan banting` dan tahan uji sampai akhir hayatnya.
Dalam bermisi, seseorang harus siap untuk
hidup yang penuh tantangan dan kesulitan serta meninggalkan keinginan
untuk mendapatkan jaminan hidup yang nyaman dan aman. Sungguh pun
begitu, seorang yang menaati panggilan Tuhan juga akan mengalami
penyertaan-Nya dalam penyerahan hidup bagi Tuhan. Itu janji dari Tuhan
Yesus sendiri.
"PROBLEM-ORIENTED VS PROGRAM-ORIENTED"
Hampir sama dengan yang di atas, akarnya juga
adalah "inward- looking" (hanya melihat ke dalam) sehingga orang
cenderung melihat masalah yang melingkupi seluruh kehidupannya. Masalah
menutupi mata rohani kita untuk melihat kemuliaan Allah yang jauh lebih
besar dari masalah kita. Kita tidak boleh lupa bahwa pada masa krisis di
mana kita sedang bergumul dengan berbagai macam masalah sosial, politik
dan ekonomi yang berdampak dalam kehidupan kita, Allah kita jauh lebih
besar dari segala masalah yang kita hadapi. Sekalipun masalah kita
sebesar dunia, firman Tuhan berkata bahwa bagian-bagian bumi yang paling
dalam pun ada di tangan-Nya (Maz. 95:4)
Orang yang hanya terpaku memandang masalah
disebut orang yang `problem-oriented`. Orang yang sedemikian akan selalu
melihat kesulitan dalam melakukan segala sesuatu. Yang terlihat
hanyalah halangan dan rintangan yang dihadapi sehingga tidak melakukan
sesuatu. Sebaliknya, orang yang bisa melihat dengan jernih akan mampu
memilah-milah hal yang memang harus diselesaikan dengan hal yang
sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Orang yang demikian tidak akan
terjebak ke dalam permasalahan dan tidak akan membuang- buang waktunya
dengan hal-hal yang tidak penting.
Implementasi
misi di lapangan membutuhkan program yang tepat dan mengenai sasaran.
Untuk itu, dibutuhkan orang-orang yang sanggup berkonsentrasi untuk
memikirkan program-program dan terobosan- terobosan kreatif dalam
pekerjaan misi. Orang yang melulu terpaku dengan masalahnya tidak cocok
untuk hal itu. Kalau seseorang hanya terpaku kepada permasalahannya ia
tidak akan punya waktu untuk memikirkan pekerjaan misi, bahkan
setidaknya mendoakan pekerjaan misi. Kita membutuhkan orang-orang yang
dewasa dan matang.
Orang-orang yang sanggup menghadapi dan
mengatasi masalah mereka akan punya waktu untuk memikirkan kebutuhan
orang lain. Kita lebih memerlukan orang-orang yang mampu berkonsentrasi
memikirkan program- program daripada problem-problem. Orang sedemikian
disebut orang yang "program-oriented".
"SUCCES-ORIENTED"
Kesuksesan menjadi tolak ukur berhasil tidaknya suatu
pelayanan. `Tuaian` atau `menuai` menjadi kata emas dan target dalam
perlombaan pengumpulan hasil. Walaupun hal ini tidak salah, namun kita
perlu mengindahkan proses, peran para pendahulu kita, dan etika dalam
pelayanan bersama sebagai tubuh Kristus. Ingatlah satu prinsip berikut.
"Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan" (1 Korintus 3:7).
Kita tidak boleh lupa bahwa tidak ada tuaian tanpa
ada yang menanam. Menuai adalah pekerjaan akhir yang menggembirakan dari
proses suatu tanaman karena menuai dalam konteks pelayanan misi berarti
mendapatkan hasil berupa pertobatan jiwa-jiwa dan banyak pujian sebagai
`hamba Tuhan yang dipakai-Nya`. Jangan lupa apa yang dikatakan Tuhan
Yesus,
"Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang untuk memetik hasil usaha mereka" (Yohanes 4:38).
Kita sering lupa bahwa ada orang-orang sebelum kita
yang sudah lebih dulu berjerih lelah, namun tidak berkesempatan melihat
hasilnya. Ketika kita berhasil, itu tak lepas dari peran orang-orang
lain sebelum kita yang telah bekerja keras merintis atau membuka jalan
sehingga kita sekarang dapat menuai hasilnya.
Kita harus bersedia untuk tidak dikenal dan
belajar bersabar menantikan tuaian. Misi tidak hanya menuai, tapi juga
menabur dan menyirami. Semuanya mempunyai bagiannya masing-masing.
Semuanya penting. Ingatlah firman Tuhan yang mengatakan bahwa penabur
dan penuai sama-sama menerima upahnya. Bersedialah juga untuk mengambil
peran, baik yang sukar maupun yang mudah.
Bahan diambil dari sumber:
Judul buku | : | Misi dari dalam Krisis |
Judul artikel | : | Penghalang-Penghalang untuk Bermisi |
Penulis | : | Bagus Surjantoro |
Penerbit | : | Obor Mitra Indonesia, Jakarta, 2003 |
Halaman | : | 59 - 70 |
Komentar
Posting Komentar