PERHENTIAN AHOK KM 19.4

PERHENTIAN AHOK KM 19.4

Titus Jonathan


Ketika angka quick count hasil perolehan suara Pilkada Jakarta 19 April yang lalu menunjukkan 42 persen untuk Ahok-Djarot dan 58 persen untuk Anies-Sandi, banyak yang terkesima, sedih, dan tak sedikit yang menangis. Herannya, yang menangis bukan hanya orang Jakarta, tetapi juga mereka yang tinggal di luar Jakarta, bahkan luar negeri. Media sosial riuh-rendah dengan komentar, seolah tak percaya dengan angka yang terpampang di televisi dan berseliweran melalui WhatsApp group. Di saat itulah tiba-tiba kita merasakan ada sesuatu yang hilang - sesuatu yang pernah kita miliki, yang pernah mewarnai denyut kehidupan kita walau hanya lewat surat kabar dan media sosial, dan sesuatu yang selalu kita rasakan kehadirannya walaupun jarak memisahkan.

Kita – bukan cuma orang Jakarta tetapi siapapun yang selama empat tahunan ini menyemai harapan dan optimisme, tiba-tiba secara bersamaan membisikkan tanya, “Bagaimana rupa Jakarta nanti tanpa Ahok?”

Tanggal 19 April itu seperti satu titik di tengah perjalanan bagi Ahok. Ia sebetulnya ingin melanjutkan perjalanan ke kilometer-kilometer berikutnya, tetapi di KM 19.4 itu terpaksa ia harus berhenti.

Di KM 19.4 itulah Ahok merenung. Ia bukan menghitung apa yang telah ia kerjakan, tetapi tentang banyak hal yang belum sempat ia kerjakan, yang ia anggap sebagai hutang pelayanan yang harus dilunasi. Ia masih ingin melayani warga Jakarta, masih ingin berbuat lebih banyak lagi, tetapi ternyata mereka menolaknya. Tapi sudahlah, inilah proses itu, proses yang berbulan-bulan ini begitu melelahkan dan menguras energi dan emosi seluruh anak bangsa. Tak pernah dalam sejarah pemilihan Gubernur di Indonesia sedemikian gila seperti ini, dan kita tahu semua mengapa sejarah ini harus berjalan seperti itu.

Ketika Ahok menyampaikan pidato, tak sedikitpun terlihat kekecewaan di wajahnya, karena ia teringat sebuah ungkapan yang dikatakan oleh Gurunya, “Seorang nabi tidak dihargai di rumahnya sendiri.”

Sekitar 2000 tahun yang lalu, Gurunya pernah mengalami penolakan yang sama. Walaupun orang-orang itu telah banyak ditolong-Nya: yang buta melihat, yang tuli mendengar, yang bisu berbicara, yang lapar dikenyangkan, bahkan yang mati dibangkitkan, tetapi mereka tak henti mempertanyakan: “Siapakah Orang ini? Dengan kuasa apakah Ia melakukan semuanya? Darimanakah Dia berasal?” Mereka tidak pernah melihat dan tidak peduli apa yang telah dikerjakan-Nya, karena bagi mereka yang lebih penting adalah soal silsilah, asal-usul dan simbol-simbol agama.

Ahok selalu teringat akan sejuta kisah tentang Gurunya, kisah dan teladan yang membuatnya tak akan pernah kecewa dengan mereka yang menolaknya. Gurunya pernah dielu-elukan dengan lambaian daun-daun palem, bahkan mereka menghamparkan pakaian mereka di jalanan yang dilewati-Nya sebagai bentuk penghormatan yang ultimate. Namun tak berapa lama kemudian teriakan "Salibkan Dia!" menggema memenuhi kota.

Ahok menyadari betapa tak sebandingnya ia dengan Gurunya. Jika ia begitu banyak kekurangan, Gurunya adalah seorang yang sempurna baik dalam tindakan dan perkataan. Toh perkataan Gurunya dipakai orang untuk mendakwa-Nya. Oleh karena itulah ia lebih ikhlas ketika ia menjadi tong sampah tempat orang membuang ludah dan caci maki. Ia berusaha untuk tegar dan tidak mengeluh sebab Gurunya pun tak pernah mengeluh. Ia berusaha mengampuni sebab Gurunya pun mengampuni dan mengajarkan untuk mengasihi musuhnya dan berdoa bagi mereka yang membencinya. Ia tidak stress karena kalah voting sebab ia meyakini bahwa jabatan itu Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil.

Maka jangan pernah berharap melihat Ahok menangis karena kehilangan kursi Gubernur. Kalau pun ia harus menangis, itu adalah tangisan karena ia belum bisa memberi lebih banyak untuk melayani warga. Ia mungkin saja menangisi mereka yang terpaksa harus ikut membencinya, karena tidak tahu apa yang mereka perbuat. Dan ia mungkin terlebih menangisi anugerah-Nya yang harus pergi karena mereka menolak anugerah itu.

Di KM 19.4 itu Ahok membayangkan wajah Veronica Tan dan ketiga anak mereka. Selama ini banyak rencana dan janji yang terpaksa harus tertunda. Mungkin inilah saatnya Tuhan mengabulkan kerinduan mereka yang tak pernah diucapkan – untuk menikmati kebersamaan dan kehidupan yang normal walaupun hanya sebentar. Jika kita tanya Ahok, ia pasti menjawab tidak perlu break karena seketika terbayang wajah-wajah warganya yang mengantri di Balai Kota setiap pagi. Warga itu mengantri bukan untuk kongkow-kongkow minum kopi dan makan camilan, tetapi membawa tumpukan masalah.

Selepas itu ia langsung tenggelam di kantornya, bekerja dan rapat hingga malam hari. Ia mempelajari masalah Jakarta, mendengar dan melihat langsung lalu menyelesaikannya. Saking berjibunnya masalah Jakarta, sejujurnya belum semuanya selesai dengan tuntas. Namun kita telah melihat banyak perubahan terjadi. Banyak orang bisa berbagi cerita. Percayalah, akan banyak buku yang akan ditulis tentangnya, karena media dalam negeri dan internasional tak pernah kehabisan topik untuk menuliskan sosok dan kiprahnya.

Jika weekend tiba, Ahok masih harus berkeliling memenuhi undangan warga yang kawin. Dalam sehari ia bisa menghadiri beberapa undangan kawin. Angpao-nya keluar dari dompetnya sendiri.

KM 19.4 membuktikan betapa tidak mudah menjadi pemimpin yang berbeda. Tetapi sejarah akan mencatat, bahwa pada suatu masa Jakarta pernah dipimpin oleh seseorang yang menjadi simbol perubahan dan kemajuan, tetapi ditolak oleh lebih dari separo rakyatnya sendiri karena ia tak bisa mengubah tanda-tanda lahiriahnya dan prinsip kebenaran yang diperjuangkannya.

Kita kehilangan seorang yang extra-ordinary, seorang yang fenomenal, seorang yang membuat kita bangga karena ia adalah pemimpin yang tahu apa yang dikerjakannya dengan integritas, dan melaksanakan tugas dengan sepenuh jiwa-raganya. Bill Clinton pernah mengungkapkan perasaan yang sama tentang Nelson Mandela, “Every time he walks into a room we all feel a little bigger, we all want to stand up, we all want to cheer, because we’d like to be him on our best day.” Ungkapan Clinton ini seolah mewakili perasaan kita yang sedih dan bangga.

Dia telah membuat mereka yang kehilangan kepercayaan dirinya kembali memperolehnya. Dia telah membuat negeri yang pernah berada dalam lembah kekelaman menemukan cahaya. Dia telah mengembalikan mimpi yang lama terkubur, bahwa di negeri ini masih ada orang yang padanya kita bisa menaruh harap.

Banyak orang bertanya, “Kemana Ahok setelah ini?” Sayangnya, tak seorangpun bisa memaksa untuk segera memperoleh jawabannya sekarang, sebab bagi Tuhan, tidak semua rencana-Nya harus diberitahukan kepada manusia yang melempar tanya.

Selamat jalan dari Balai Kota Jakarta, Ahok. Kutunggu engkau pada perhentian berikutnya.

***
Serpong, 22 April 2017
Titus J.

www.titus-jonathan.blogspot.co.id

Komentar

Postingan Populer