Negeri Penuh Susu dan Madu


Bilangan 14:8 (TB)  Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.

http://www.bibleforandroid.com/v/e88227a9e148

Numbers 14:8
New International Version (NIV)

8 If the Lord is pleased with us, he will lead us into that land, a land flowing with milk and honey, and will give it to us.

New International Version (NIV)

Janji Tuhan kepada kita memasuki Tanah Perjanjian yang penuh dengan susu dan madunya.

Setiap Dari Kita Mendesign Ulang Hidup kita sebelum memasuki Tanah Perjanjian Kita.

*Proses untuk keluar dari Mesir menuju Kanaan*


Bangsa Israel merindukan suatu situasi yang kondusif dan bebas dari tekanan atau perbudakan. Keinginan ini terungkap dalam Keluaran 3:7 “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka...”. Keluhan bangsa Israel telah didengar oleh Allah dan Ia sudah bertindak sebelum Ia menyampaikannya kepada Bangsa Israel.


Langkah pertama yang Allah kerjakan adalah memilih pemimpin untuk melepaskan bangsa Israel dari perbudakan (Keluaran 3:10) tetapi sebenarnya jauh sebelum itu, Allah sudah bertindak. Prinsip pemilihan bagi Allah berbeda dengan cara manusia. Aspek fisik, aspek pengetahuan, aspek kekayaan, aspek kedudukan sangat penting bagi manusia dalam memilih tetapi Allah justru sebaliknya. I Korintus 1:27-29 berkata “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri dihadapan Allah”.


Prinsip pemilihan Allah didasarkan pada sifat-sifat-Nya. Musa adalah sosok seorang pemimpin yang tepat menurut pandangan Allah. Meskipun demikian, Musa mengakui bahwa ia hanya seorang gembala domba (Kel. 3:1). Ia tidak kuat, bodoh dan tidak memiliki pengalaman dalam berdiplomasi dan memimpin (Kel. 3:11; 4:10). Musa bahkan merasa pengutusan Allah tidak mengikuti prosedur manusia yaitu perlu ada ‘surat keputusan pengangkatan’ [SK dari Allah] (Kel. 3:13; 4:1). Oleh sebab itu ia merasa tidak pantas menjadi pemimpin (Kel. 4:13).


Menarik untuk dikaji karena Musa disatu sisi adalah pilihan Allah. Secara otomatis Musa tidak cacat dalam semua aspek, tetapi apabila ia memiliki kelemahan secara manusiawi, ia pasti disempurnakan sebab dia dipilih oleh Allah. Namun, Alkitab mencatat bahwa Musa tidak diperkenankan oleh Allah sendiri untuk memasuki tanah Kanaan. Dari sudut pandang manusia, Musa tentu kecewa dan tidak menerima keputusan itu. Ada tiga alasan, pertama, dia berjasa dalam memimpin bangsa Israel melewati padang gurun selama 40 tahun. Suatu perjalanan yang melelahkan dan dilalui dengan taruhan nyawa. Kedua, Musa tidak mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Dia diutus oleh Allah. Jadi logisnya dalam bersalahpun ia harus tetap layak. Ketiga, pada awal pemilihan, dia tidak siap menjadi pemimpin karena dia hanya seorang gembala dan ia sendiri mengakui kelemahan itu tapi Allah menghendaki supaya ia menjadi pemimpin.


Alkitab mencatat bahwa Musa hanya diizinkan melihat dari jauh. Ulangan 34:1. Musa melihat dari jauh yaitu “…di atas gunung Nebo, yakni ke atas puncak Pisga, yang ditentangan Yerikho”. “…tetapi engkau tidak akan menyebrang ke sana” (Ulangan 34: 4b). Pertanyaannya, mengapa? Jawabannya karena Musa marah. Pada saat ia bersama-sama dengan bangsa Israel tiba di Masa dan Meriba. Pada saat itu bangsa Israel bersungut - sungut karena tidak ada air. Sungut - sungut bangsa Israel menyebabkan Musa marah. Satu kesalahan menurut pikiran manusia tidak seimbang dengan hukuman yang ia terima.


Timbul lagi pertanyaan dalam pikiran kita: Apakah keputusan Allah itu adil dan benar? Ada dua dasar pijak yang bisa dipakai untuk mengukur kebenaran dan keadilan Allah dalam keputusan ini. Pertama, jasa Musa. Jika ini menjadi tolak ukur penilaian, maka terkesan Allah tidak benar dan tidak adil dalam memberi hukuman kepada Musa sebab ia sangat berjasa kepada bangsa Israel. Kedua, konsekuensi. Konsekuensi berarti akibat yang harus diterima karena perbuatan seseorang. Jika ini yang menjadi dasar tolak ukur, maka hukuman Tuhan benar dan adil. Mengapa? Karena hukuman atau pahala bagi seseorang sekali-kali tidak dipengaruhi oleh jasa orang tersebut. Dengan kata lain, dosa tetap dosa, benar tetap benar dan menurut hukum konsekuensi, orang berdosa harus dihukum dan orang benar harus dibebaskan.

… Allah tidak memilih suatu perbuatan tertentu karena ada nilai intrinsik dalam perbuatan itu sendiri. …Dalam mengambil keputusan, Allah telah mengikuti standar obyektif yang menyangkut benar dan salah, yaitu suatu standar yang merupakan bagian dari struktur realitas. Namun, standar yang dipatuhi Allah tidak terletak di luar diri-Nya, tetapi merupakan watak-Nya sendiri. Allah mengambil keputusan sesuai dengan realitas, dan realitas tersebut adalah diri-Nya sendiri[4]

Jika Allah memperhitungkan jasa Musa, berarti Allah menunjukkan egoisme dan pilih kasih atau berat sebelah.

Keadilan Allah artinya Allah itu adil dalam pelaksanaan hukum-Nya. Allah tidak menampilkan sikap pilih kasih atau berat sebelah. Dalam hal ini identitas seseorang tidak berpengaruh. Apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang itulah yang merupakan satu-satunya pertimbangan apakah seseorang menerima hukuman ataukah pahala. Bukti tentang keadilan Allah ini tampak ketika Allah mengutuk hakim-hakim pada zaman Alkitab, yang diperintah untuk mewakili Dia, namun menerima suap sehingga mengubah keputusan mereka (mis. I Sam. 8:3; Am. 5:12). Alasan pengutukan mereka adalah bahwa Allah sendiri yang adil, mengaharapkan perilaku yang sama dari orang-orang yang melakukan hukum-Nya.[5]

Sebagaimana halnya dengan kekudusan-Nya, Allah mengharapkan agar para pengikut-Nya menyamai kebenaran dan keadilan-Nya. Sebagai standar kita, kita harus menerima hukum dan ketetapan Allah. Kita harus memperlakukan orang lain secara jujur dan adil (Am. 5:15, 24; Yak. 2:9) karena itulah yang dilakukan Allah sendiri.[6]

Maka dapat disimpulkan bahwa hukuman Allah benar dan adil sebab konsekuensi dari tindakan Musa yang salah, ia patut menerima hukuman. Kita melihat obyektifitas Allah dalam mengambil keputusan. Hukuman dari Allah menunjukkan kebenaran dan kesucian diri-Nya yang tidak mungkin dikorbankan hanya karena jasa manusia. Tidak bisa dikatakan Allah tidak benar dan tidak adil dalam hukuman-Nya kepada Musa. Sebab apabila itu juga menjadi alasan berarti manusia lebih mengutamakan yang terbatas, daripada Tuhan yang tidak terbatas. Hal ini bertentangan dengan hukum yang pertama dan yang terutama “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, akal budimu, jiwa dan kekuatanmu (Luk.10:27).

Hakikat dosa tidak terletak dalam hal mementingkan diri sendiri daripada orang lain, tetapi dalam hal lebih menyukai hal-hal yang terbatas daripada Allah, atau mengganti sesuatu yang nilainya sangat terbatas. Jadi mengutamakan orang lain dan bukan mengutamakan Tuhan adalah dosa, sekalipun hal itu tampaknya sebagai tindakan yang tak mementingkan diri sendiri pada pihak kita. Perintah yang terutama dan yang pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, akal budi, jiwa dan kekuatan (Luk.10:27). Perintah terutama yang kedua adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Mendahulukan perintah kedua sebagai pengganti perintah pertama adalah salah dan berdosa.[7]


“…Aku telah turun” menunjuk kepada kedatangan Kristus ke dunia


Perhatikan kalimat “…Aku telah turun untuk melepaskan mereka…” (Keluaran 3:8). Kalimat ini diterjemahkan “I have come down” [present perfect] dalam Alkitab bahasa Inggris terjemahan NIV. Penggunaan tenses ini menunjukkan bahwa kegiatan “turun” yang dilakukan oleh subjek kalimat [Aku] – [Allah] terjadi satu kali pada masa lampau tetapi masih ada hubungannya dengan waktu sekarang. Kata kerja ‘turun’ dalam kalimat tersebut adalah bentuk lampau (past participle). Kalimat ini menunjuk pada kedatangan Kristus ke dunia yang terjadi satu kali pada waktu lampau. Penggunaan to be ‘have’ dalam kalimat tersebut adalah indikasi waktu sekarang. Ini menunjuk pada karya Yesus Kristus yang tidak hanya terbatas bagi orang Israel pada waktu lampau tetapi bagi semua orang percaya di masa kini. Jika Dia tidak turun, tidak mungkin Musa dapat menyelesaikan masalah perbudakan dosa di Mesir. Sama halnya dengan Kristus. Jika Dia tidak datang ke dunia “siapakah yang dapat pengampuni dosa selain daripada Allah sendiri?” (Markus 2:7).


Kelemahan yang dilakukan oleh Musa yang menyebabkan ia tidak masuk dalam tanah perjanjian membuktikan bahwa manusia terbatas karena dosa. Tidak ada seorangpun yang benar, semuanya berdosa dihadapan Allah. Nabi sekalipun, tetap berdosa. Hanya Allah yang memiliki pribadi yang tidak berdosa. Oleh sebab itu Allah melalui Yesus Kristus turun ke dunia untuk ‘melepaskan’ manusia dari dosa [perhatikan kata melepaskan dipakai dalam Keluaran 3:8]. Nubuatan tentang kedatangan Kristus juga telah disampaikan oleh Yesaya dalam (Yesaya 40:3-5). Allah turun untuk melepaskan bangsa Israel dari perbudakan dosa menunjukkan betapa Ia mengasihi umat-Nya (Yeremia 31:3). Penderitaan yang dialami oleh bangsa Israel di Mesir melukiskan penderitaan Kristus ketika Dia berada di dunia. Manusia menolak Dia sebagai Juruselamat tetapi Ia mengasihi manusia karena Ia tahu bahwa dosa yang menyebabkan manusia memberontak terhadap Allah. Dia merelakan diri-Nya mati di kayu salib. Tetapi kuasa-Nya yang membangkitkan diri-Nya sendiri yang telah membuktikan bahwa Dia adalah Allah yang berbeda dengan illah-illah yang disembah oleh orang Mesir.


Masihkah kita di Mesir [dosa] atau sudah kembali ke Kanaan [hidup sebagai anak-anak terang]?


Pertanyaan ini sifatnya ‘self evaluation’. Artinya jawaban ada pada kita. Meskipun demikian, kita bisa belajar dari kasus “penderitaan bangsa Israel dan tindakan Allah untuk memulihkan mereka”. Perhatikan pernyataan Allah ini “…Aku telah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesengsaraan umat-Ku…” (Kel. 3:7a); “…Aku telah mendengar seruan mereka…” (ay.7b); “…Aku mengetahui (ay. 7c); “…Aku telah turun untuk melepaskan mereka…” (ay.8).

Pernyataan - pernyataan Allah di atas melukiskan suatu “sistem berekspresi” yang berbeda dengan cara manusia.

Keluar Dari Mesir Kita, Trauma dan Pengalaman yang menyakitkan. Semua Luka dibereskan dan Minta Pertolongan Tuhan untuk membawa kita keluar dari Mesir dan Pergi Memasuki Tanah Perjanjian.

Amin

By His Grace

Joshua Ivan Sudrajat







Komentar

Postingan Populer