Sekolah Minggu dan Kultur Gereja

Mezbah Keluarga - Gathering Leaders
Lobby HS 8 Des 2011 19:00
Sekolah Minggu dan Kultur Gereja” - Petrus Agung

P. Bambang Budianto – pendiri PESAT (ketua yayasan Compassion wilayah asia) – sharing dengan p Agung pada minggu sore tentang Sekolah Minggu, disertai data dan hasil penelitian, yang membuat mata rohani p Agung tercelik dan mengerti bahwa yang selama ini JKI lakukan sudah tepat. Riset p Bambang adalah Sekolah Minggu. Sharing ini menjawab beberapa pertanyaan di hati p Agung

Pertanyaan di hati p Agung
  1. Banyak gereja yang setelah membangun gereja besar – movement-nya turun, terhenti, seperti hilang. Sebelum ada fasilitas kegerakan maju dengan pesat. Setelah ada gedung malah surut. P Agung tahu ini, sehingga saat membangun HS, ada ketakutan bahwa pembangunan HS adalah akhir/ujung dari segalanya.
  2. Mengapa jika ada gereja baru/ movement baru, tantangan terbesar muncul dari gereja ? Apakah anak Tuhan begitu jahat?

History of Sunday School
Sekolah Minggu dimulai th 1780
Pada era tahun itu ada revolusi industri di Inggris – dunia mulai menemukan mesin untuk mempermudah pekerjaan manusia. Sejak saat itu jumlah penemuan mesin sangat banyak
Mesin meningkatkan efisiensi dan produktifitas secara sangat significan.

Contoh: semula butuh 100 orang untuk mengerjakan suatu proyek, jadi hanya perlu 10 orang. Akibatnya ada 90 orang yang job-less

Terjadi oversupply tenaga kerja, akibatnya upah pekerja semakin rendah karena supply tenaga kerja berlebihan. Muncul kelas pekerja/buruh, penghasilan ayah tidak lagi memadai. Dampaknya istri dan anak-anak harus bekerja juga
Karena anak-anak bekerja, maka tidak bisa sekolah, timbul generasi tidak terdidik, dan semua hal ini meresahkan, menimbulkan banyak dilema dan kepahitan

Menghadapi masalah-masalah di atas, ada 2 orang yang memberikan solusi:
  1. Karl Marx – komunis – memicu gerakan Bolsevik di Rusia yang akhirnya menggulingkan Tsar Nicholas
  2. Robert Reiss – Kristen Injili - Robert melihat bahwa saat pabrik libur pada hari minggu banyak anak-anak berkeliaran. Kemudian Robert membuat langkah kecil : sunday school.

Bentuk Sekolah Minggu
  1. Mengajari anak-anak yang berkeliaran tadi untuk: membaca, menulis, berhitung, budi pekerti, perilaku, hidup bersih, pelajaran Alkitab, ketrampilan, dll. Ternyata “sekolah minggu” menjadi solusi dan berkembang sangat pesat. Bentuk ini menghasilkan banyak pemimpin bangsa: politikus, birokrat, jendral, ilmuwan, dll
  2. Ketika ekonomi membaik, anak-anak bisa sekolah dan tidak harus kerja, kemudian gereja mengambil alih sekolah minggu, kemudian menghilangkan semua unsur yang lain, dan fokus hanya pada mengajarkan Alkitab. Bentuk sekolah minggu berubah jadi seperti pos PI. Bentuk ini menghasilkan banyak pendeta dan penginjil
  3. Kondisi keuangan gereja membaik, gedung-gedung besar dibangun. Sekolah minggu kemudian ditarik dari rumah-rumah dan masuk di dalam gereja. Bentuk ini yang ada sekarang, dan nyaris tidak menghasilkan apa-apa.
Kultur/ Budaya Gereja
Mengapa sekolah minggu bentuk ke-3 hampir tidak menghasilkan apapun? Itu karena munculnya “kultur gereja”
Budaya gereja adalah semua yang dikerjakan gereja secara terus menerus dalam kehidupan gereja.
Contoh budaya gereja yang saat ini ada: ada pendeta, WL, singer, usher, kolektan, liturgi, musik, departemen-departemen (diakonia, PI, wanita, pria, kaum muda)

Selama ber abad-abad kultur inilah yang dikejar orang Kristen, yaitu merasa belum melayani jika belum naik mimbar, atau belum terlibat/terhisap dalam “pelayanan” di salah satu ministri gereja.

Survey membuktikan bahwa orang-orang yang terlibat “pelayanan” seperti di atas, dalam waktu 3 tahun tidak lagi punya teman-teman orang-orang dunia, karena setiap hari di gereja. Akibatnya tidak bisa bergaul dengan orang lain, dan tidak punya teman lain di luar teman gereja. Dalam maksimal 3 tahun mereka tidak bisa lagi membawa jiwa baru sama sekali. Hubungan denga orang luar terputus sehingga tidak bisa membawa orang yang belum kenal Tuhan untuk masuk kenal Tuhan. Jadi, kultur ini diam-diam mematikan.

Ini adalah jawaban mengapa ketika gereja punya fasilitas malah berhenti bergerak, karena kultur/cara pikir bahwa pelayanan harus di gereja, dan jika bukan di gereja – itu bukan pelayanan.

Kultur JKI Injil Kerajaan
Ternyata selama ini JKI sudah menerapkan kultur gereja yang berbeda:
  • Rumah singgah : seperti sekolah minggu bentuk 1
  • Pasar rakyat
  • Agro : belum berhasil secara bisnis, tapi di pihak lain memenangkan hati petani
  • The School of Life
  • Sekolah sepak bola
  • Dream Center

Bentuk-bentuk di atas TIDAK BOLEH hilang, karena bersentuhan dengan mereka yang belum kenal Tuhan Yesus.

Mezbah Keluarga diharapkan seperti sekolah minggu bentuk pertama, yaitu punya hubungan dengan orang-orang di luar. Karena jika hanya mengarah ke dalam – akhirnya akan mematikan lagi. Fellowship di antara MK perlu, tetapi jangan sampai membuat pintu/ hubungan kita dengan orang di luar tertutup. Gereja lebih berfungsi sebagai pom bensin – tempat kita re-charge hingga full, kemudian keluar lagi, memberkati orang di luar.

Kultur Gereja tidak relevan dengan Non - Gereja
Begitu jadi budaya, kultur gereja jadi tidak relevan dengan budaya non-gereja. Budaya gereja hanya relevan dengan sesama gereja: kita hanya dikitari oleh yang “sejenis”.
Contoh: iklan KKR – ada “untuk kalangan sendiri” - ini tidak akan menarik bagi orang non-Gereja, tapi menarik bagi anggota gereja lain

Akibatnya kegiatan di satu gereja seringkali meresahkan gereja yang lain karena iklan tersebut hanya “laku” di “kalangan sendiri”. Sehingga saling menarik jemaat.
Dampaknya timbul persaingan: mengundang artis, pelawak, pendeta luar negeri, dll
> Pertengkaran dan ketegangan antar gereja mudah terjadi

Saat gereja tidak relevan bagi orang non-gereja, kita tidak bisa bicara kepada mereka tentang anugrah Tuhan.

Akibat berikutnya, gereja melakukan:
  1. Fair campaign : dengan iklan/ brosur
  2. Black campaign : dengan gosip, tuduhan, fitnah, dll

Yang membuat gereja bisa tetap dalam kegerakan Tuhan adalah tidak masuk dalam “kultur gereja” , tapi menjangkau keluar – membuat jembatan-jembatan dengan komunitas non-gereja: bezoek lansia dan orang terlantar, rumah singgah, sekolah sepakbola, urban farming, dll

Hal ini adalah kebutuhan kita hari ini. Jika kita bisa bertahan mengerjakannya, maka kita akan terus berada dalam movement Tuhan dan tidak akan pernah berhenti.
Sebaliknya jika masuk dalam kultur gereja, maka kita tidak lagi relevan bagi orang luar dan movement terhenti

Komentar

Postingan Populer