MASUK DALAM RENCANA ALLAH 1Allah 1
Masuk
Dalam Rencana Allah 1
Tuhan
berbicara pada saya kira-kira pertengahan tahun 2004-2005, bahwa Dia akan menambahkan
satu ladang baru untuk pelayanan saya yaitu sebuah panti asuhan. Ketika
mendengar hal itu jujur reaksi saya adalah : “Wah Tuhan tambah kerjaan lagi
dong....” Tetapi Tuhan berkata : “Panti Asuhan ini akan menjadi tempat
penampungan buat anak-anak yang terbuang, yang tertolak, yang ditolak
keluarganya, Aku akan membawa kamu untuk menemukan permata-permata yang
berharga, batu-batu yang berharga yang dibuang manusia dan Aku membuatnya
menjadi berharga.” Dan saya sudah terbiasa setuju dengan apapun yang Tuhan
minta, atau inginkan. Jadi waktu itu saya menjawab : “Ya Tuhan apapun
keinginanMu.” Saat itu saya berpikir, dengan semua kesibukan saya yang sudah
ada, paling-paling panti asuhan masih lama, itukan baru visi yang Tuhan
cetuskan, ya mungkin satu tahun lagi.”
Tetapi
saya lupa satu hal bahwa ini adalah akhir jaman dan Allah sedang mengadakan percepatan kira-kira satu minggu
setelah itu, tiba-tiba ada orang yang mencari saya dan dia menceritakan bahwa
ada satu anak korban penganiayaan, orang tuanya pecandu narkoba dan sudah
berpisah, anak ini tinggal dengan ibunya dan anak ini begitu trauma sangat
ketakutan untuk bertemu dengan ibunya
lagi, karena ibunya stress berat dan menyiksanya sehingga dia harus di rawat di
rumah sakit. Kemudian saya ditanya : “Ibu mau tidak mengambil anak ini ?” saat
itu saya sangat terkejut, saya tidak menyangka bahwa akan secepat itu Tuhan
bekerja. Singkat cerita saya berdoa, dan Tuhan berkata : “Seberapa engkau
menginginkannya ?” Dan saya menjawab : “Tuhan saya ngeflow aja deh, saya
mengikuti apa mau Mu ?” Karena sejujurnya saya merasa tidak siap, tetapi untuk
menolaknya juga tidak mungkin.
Ketika
Tuhan pertama kali berbicara kepada saya tentang sebuah panti asuhan, dan saya
menyetujuinya, saya pikir saya siap untuk itu, tetapi ketika dihadapkan dengan
kenyataan saya dapati saya tidak siap sama sekali. Saya tidak siap untuk
membayar harganya. Akhirnya saya tidak sungguh-sungguh mendoakannya, saya hanya
berdoa sekedarnya saja, doa yang klise, ya Tuhan kalau ini kehendakMu biarlah
ini jadi kalau bukan dari Engkau ya dibatalkan.
Kemudian
saya sempat mengambil anak itu untuk tinggal dirumah selama beberapa hari, dan
jujur walau anak itu sangat atraktif dan cenderung menjengkelkan, tetapi kami
sekeluarga jatuh hati padanya. Walau demikian saya mulai mengeluh dengan
kenakalan dan keliaran anak itu, jauh
berbeda dengan anak-anak saya, hal ini dapat dipahami dari latar belakangnya,
tetapi saat itu saya mulai mengeluh dan mengomel, bukannya berdoa. Saya tidak
waspada dan saya mulai merasa bahwa ini merupakan suatu beban, walau dari hati
saya, saya suka anak itu, tetapi saya tidak suka dengan tantangannya, dengan
pencobaannya.
Lalu
tiba-tiba terjadi bahwa keluarga dari ibunya, ibunya sendiri masuk rumah sakit
untuk perawatan orang stress datang begitu saja meminta anak itu, padahal dulu
tidak ada yang mau mengurusi dan lebih menyakitkan lagi keluarganya mengambil
bukan untuk merawatnya dirumah tetapi untuk dimasukkan di panti asuhan di kota
mereka. Saat hal itu terjadi hati saya seperti teriris-iris, saya sangat
menyesal, seperti ada yang terlepas dalam hidup saya dan saat itu Tuhan berkata
: “Seberapa besar engkau menginginkannya, sebesar itulah engkau akan
mendapatkannya. Jika engkau tidak sungguh-sungguh menginginkan panggilan itu
dan tidak berani membayar harganya, maka iblis akan mengambil itu dari
tanganmu.”
Pengalaman
ini menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam hidup saya. Saya semakin tahu
betapa berharganya sebuah panggilan yang Allah rancangkan untuk setiap kita.
Panggilan sangat berharga, karena bisa berarti jiwa-jiwa dan akan mempunyai
dampak yang besar. Jika sebuah panggilan lepas dari kita, maka ada sesuatu yang
berharga yang hilang dari hidup kita.
Panggilan
itu sangat berbeda dengan pekerjaan atau karier yang membuat kita menerima
upah. Tetapi panggilan justru menuntut kerelaan kita untuk membayar harganya
untuk mendapat mencapai panggilan itu seandainya saya waktu itu sungguh-sungguh
berdoa untuk anak itu, untuk keluarganya membawa mereka ke hadapan Tuhan dan
berhadapan dengan iblis, saya yakin saat ini anak itu ada bersama-sama dengan
saya, tetapi saya tidak melakukannya, saya tidak mau membayar harganya, karena
saya sungguh-sungguh tidak menginginkannya.
Jika
kita tidak menginginkannya maka percayalah kita pasti tidak akan melakukan
tindakan apa-apa untuk dapat memilikinya, apalagi sampai rela membayar harganya
demi tercapainya panggilan itu. Inilah yang menjadi masalah dari banyak
anak-anak Tuhan, mereka berdoa dan berdoa bertanya Tuhan : Apa PanggilanMu atas
hidupku ? tetapi ketika Tuhan menjawab dan mulai membukakan sesuatu, kita
berkata : “Ah Tuhan yang benar saja, masa itu panggilan saya sih ? Bukankah itu
tidak sesuai dengan saya ? Saya tidak suka model begitu, saya suka yang
ini.....?” kenapa hal ini bisa terjadi. Ya, kita selalu berfokus kepada
kenyamanan kita. Kita seringkali berpikir bahwa panggilan dan pelayanan kita harus
sesuai dengan keinginan kita, ketika panggilan itu membuat kita harus melakukan
ini itu yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau bahkan membuat kita harus
melepaskan zona nyaman kita, kita mulai ragu dan berpikir “Benarkah ini yang
Tuhan mau atas hidupku ?” Akhirnya kita mulai tidak menginginkannya lagi, dan
tebaklah ya pasti kita tidak akan memiliki gairah atau kerinduan apa-apa lagi
untuk masuk lebih dalam lagi ke dalam panggilan itu..... Bersambung
Jatiwangi,
28 April 2016
By
His Grace
Joshua
Ivan Sudrajat
Komentar
Posting Komentar