Kesaksian Mark Mc Clendon

Kesaksian Mark Mc Clendon

 

Mengelilingi dunia pada tahun tujuh puluh-an membawa keluarga kami menghadapi tantangan yang sangat banyak, bahkan berulang kali keluarga kami menghadapi bahaya yang mengancam nyawa kami. Pada hari Edgar Al Bhutto, bekas PM Pakistan digantung oleh pemerintahan militer yang kudeta dia, keluarga kami di kota Karachi, ibu kota Pakistan. Kalau bukan Tuhan sendiri turun tangan menolong kami lolos dari keadaan yang nyaris tak terkendali, entah apa yang terjadi pada kami saat itu. Kami mendarat di Phnom Penh, Kambodja di tengah-tengah tiga tahun pemerintahan Khmer Rouge. Dalam waktu hanya 5 menit setelah mendarat, pesawat yang membawa kami segera lepas landas kembali, dan bandara telah kosong, tidak ada manusia satupun. Bom dan mortir mulai berjatuhan di bandara itu, karena ternyata pasukan Vietnam sedang menyerbu ibu kota Kambodja tersebut. Kami berdiri di landasan pesawat sambil berdoa, minta pertolongan Tuhan. Sekali lagi Tuhan loloskan kami dari maut pada hari itu, dan 3 hari kemudian kami terevakuasi. Dari Calcutta India, sampai Jeddah, Saudi Arabia, banyak petualangan-petualangan dan kesulitan-kesulitan yang saya alami, terlalu banyak untuk diceritakan satu per satu.

Ayah adalah seorang hamba Tuhan. Ia membawa saya keliling dunia hanya bermodalkan ‘dengkul’. Ia seorang Profesor Dokter yang bekerja di Oral Roberts University dengan gaji yang cukup kecil. Setiap tahun ketujuh, atau ‘tahun Sabat’, ia membawa kami sekeluarga untuk berjalan berkeliling dunia dalam misi, dari satu negara ke negara lain. Kadang-kadang saat kami terbang atau naik kapal ke suatu tempat, kami bahkan tidak tahu mau menginap di mana nanti malam. Kami hanya berdoa, dan Tuhan yang menjawab semua doa kami. Sejak kecil, saya sudah menyaksikan berbagai mujizat dengan mata kepala saya sendiri.

Suatu hari, ketika kami berada di Damaskus, Syria, ayah menderita sakit yang sangat parah. Saya berpikir, mungkin sekali ayah akan meninggal di kota itu. Ia tergeletak di pembaringan, di sebuah penginapan yang murah. Berhari-hari ia hanya terbaring di tempat tidur, dan tidak bisa berjalan. Obat dari dokterpun tidak dapat menolong dia. Saya mengalami sebuah ketakutan yang besar, karena kalau sampai ayah meninggal, bagaimana kami sekeluarga bisa keluar dari Siria?

Suatu saat, ayah memanggil saya dan membisikkan kepada saya, 'Mark, ambilkan saya sepatu'. Saya bertambah cemas, saya berpikir, wah ini ayah sudah mulai mengigau. Karena ia bangun dari tempat duduk saja tidak bisa, mengapa dia meminta saya mengambilkan sepatu? Dengan berat hati saya ambilkan sepatu. Kemudian ayah kembali berbisik, 'sekarang, ambilkan obatku'. Saya pun mengambil obat yang diberikan oleh seorang dokter saat kami berada di Jerman tiga minggu yang lalu. Kemudian ayah meminta saya membopong beliau ke balkon.

Kamar hotel kami terletak di lantai tiga, hanya dilengkapi oleh kipas angin besar di plafon kamar dan memiliki sebuah balkon kecil, yang langsung menghadap ke jalan raya. Saat itu siang hari, cuaca sangat panas, dan kondisi jalan raya saat itu hiruk pikuk dengan orang yang lalu lalang, banyak mobil yang membunyikan klakson.

Saya membopong ayah, yang hanya mengenakan celana dalam. Kemudian sesampainya di balkon, ia meminta saya untuk memakaikan sepatunya, dan ia meminta saya meletakkan obat itu di lantai balkon. Kemudian, dengan tubuh yang masih gontai, ia berpegangan di tubuh saya sementara tangan yang lain berpegangan di pagar balkon. Saat itu, siang hari bolong, seorang ‘bule’ dengan hanya mengenakan celana dalam dan sepatu pantofel, berkeringat, dan berdiri di balkon, membuat semua orang yang sedang lalu lalang di bawah kami menengok kepada kami dengan heran. Kemudian, sekonyong-konyong ayah berteriak, 'DALAM NAMA TUHAN YESUS', kemudian ia injak obat-obat itu sehingga berhamburan ke jalan. Kemudian ia meminta saya untuk membopongnya ke kamar mandi. Dalam perjalanan ke kamar mandi, ayah lepas dari pegangan saya, dan.. ia berjalan sendiri. Ia SEMBUH, sehat 100% dalam seketika!

Ayah memberikan banyak sekali hal-hal yang berarti buat saya, tetapi di sisi lain, ayah juga memberikan LUKA yang banyak. Hati saya sebagai bocah kecil dilukai karena memang ayah adalah orang yang keras, dan saya sering mengalami pukulan dan kata-katanya melukai hati saya. Hal tersebut membuat saya sadar, bahwa seorang ayah mempunyai potensi yang sangat besar untuk melukai anaknya, tetapi sebaliknya, seorang ayah juga memiliki potensi yang sangat besar untuk memberkati anaknya. Dan sekalipun dia buat kesalahan, apabila seorang ayah berniat, dia memiliki potensi untuk membantu memulihkan anaknya dari luka-luka itu. Terkadang, didikan dari nenek moyang kita diwarnai oleh banyak kekerasan. Mungkin mereka juga alami didikan yang sama dari orang tua mereka, sehingga sebuah kekerasan atau makian adalah hal yang lumrah dan akhirnya hal ini terbawa terus dari generasi ke generasi, hingga ke generasi kita. Tanpa kita sadari, kita bisa ikut meneruskan lingkaran dilukai-melukai tersebut kepada anak-anak kita.

Maka sebenarnya, bagi seorang lelaki, sebagai seorang ayah, tantangan tersulit bukan mencari harta, popularitas, atau mencari kedudukan. Terlebih dari semua itu adalah bagaimana menjadi seorang ayah yang baik. Sebagai seorang ayah, memberikan dasar-dasar yang kuat kepada anaknya, sehingga ketika anak kita dewasa, ia bisa menjadi seseorang yang tidak hanya terlihat baik dari luar, tetapi bisa menjadi seorang pribadi yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh dunia.

Seorang ayah harus mengetahui fungsinya sebagai seorang ayah menurut Firman Tuhan. Kita miliki prinsip-prinsip yang kita warisi dari leluhur kita, yang mungkin adalah dari ayah kita, tetapi setelah dilihat secara seksama, ternyata sama sekali tidak sesuai dengan Firman Tuhan! Bukan hanya sekedar prinsipnya, tetapi juga etosnya. Misalnya: Ayah kalau bicara, anak harus diam, dan tidak boleh dibantah! Itu etos. Kita harus senantiasa mengecek, apakah prinsip dan etos kita, dimana melaluinya kita bangun budaya atau kultur keluarga kita, apakah sesuai dengan Firman Tuhan?

Seorang ayah harus mendisiplinkan anaknya di dalam KASIH, bukan secara emosional. KASIH harus menjadi landasan yang utama di dalam keluarga. Mendisiplin anak dalam emosi yang tinggi, hasilnya pasti melukai sang anak.

Saya memiliki seorang anak perempuan yang bernama Holly, yang mengalami down syndrome, dan keterbelakangan mental. Adiknya, Cody, yang berusia lebih muda dua tahun darinya, bersekolah di sebuah sekolah bersama-sama dengan Holly di kelas lima Sekolah Dasar. Mereka kelas 5 SD yang sama, namun ruang kelas dan guru yang berbeda. Nah, di rumah saya seringkali mendapati Cody bersikap emosional bila sedang menghadapi kakaknya. Daripada saya langsung memarahi Cody karena kasar kepada kakaknya, saya mengajak Cody untuk berbicara berdua. Cody akhirnya bercerita kepada saya sambil menangis. Rupanya, setiap kali Holly berjumpa dengan Cody di lorong, mess atau manapun di sekolah, Holly selalu berteriak dengan lantang, 'CODYYY', kemudian ia akan berlari, memeluk, dan mencium Cody! Hal ini membuat Cody merasa malu karena teman-temannya mentertawakan dan mengejek dia. Hal ini terus dan terus berulang, sehari bisa puluhan kali, sehingga Cody semakin merasa malu dan sebal dengan kakaknya.

Saya bercerita kepada Cody, Kamu wajib mencintai dan mengasihi kakak perempuanmu seumur hidupmu. Suatu hari nanti, bila kamu berjumpa dengan dia di Surga, down syndrome dia sudah tidak ada. Badannya boleh memiliki kekurangan (down syndrome), tetapi rohnya Holly Allah ciptakan sempurna. Saat itu Holly akan katakan kepada kamu: Cody, kamu itu pembela aku. Kamu itu satria bagi aku. Kamu itu adalah adik yang melindungi aku, adik yang selalu menjaga aku, yang selalu mencintai aku apa adanya walaupun aku cacat saat aku ada di dunia. Terima kasih. Mendengar hal ini, Cody langsung menangis, saya juga menangis. Sejak itu Cody bangkit dan berubah. Firman Tuhan yang paling sederhana, yaitu KASIH, ia terapkan. Ia menjadi seorang anak laki-laki yang paling ksatria, terhadap perempuan dan terutama terhadap kakaknya.

Di kesempatan yang terpisah, saya juga berbicara secara pribadi kepada Holly, menegurnya, dan memberi dia batas maksimal cium dan peluk Cody hanya tiga kali sehari di sekolah!

Akhirnya apa yang terjadi? Kalau Holly bilang 'CODYYY..' di sekolah, maka Cody juga akan bilang 'HOLLYYY', dan ia akan membalas pelukan kakaknya dan ia mencium kakaknya! Semua teman-teman Cody yang tadi mengejeknya, hanya bisa tertegun dan terpana melihat hal itu, dan semua ejekan, cemoohan itu hilang, melihat KASIH dipraktekkan di depan mereka. Mereka malah menjadi iri!

Menjadi seorang ayah yang benar semakin penting, dan semakin menantang. Saat ini, kita menghadapi sebuah Native Digital Generation. Artinya generasi ini sejak berada di dalam kandungan ibunya pun sudah mengenal dunia digital, dan mereka jauh lebih akrab dan mahir dengan dunia digital dan teknologi daripada kita. Seorang ayah pada hakekatnya adalah seorang pelindung. Apakah kita berfungsi sebagai pelindung untuk anakanak kita? Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita tidak mengerti tentang gituan (tentang teknologi, red), sedangkan kita membelikan banyak gadget (barang-barang berteknologi, seperti komputer, handphone blackberry, dll, red) untuk anak kita. Tanpa pengawasan yang benar, dan kebijaksanaan dalam memberi batasan dan peraturan dalam rumah tangga kita, termasuk untuk setiap gadget yang anak-anak kita miliki, bisa menjadikan kita malah sebagai ayah yang jahat, yang tidak memberkati anak-anak kita. Kita harus ingat bahwa berbagai perangkat digital itu menjadi super highway informasi yang baik atau jahat bagi anak-anak kita tanpa ada pengarahan dan perlindungan dari kita.

Jangan lupa untuk mengambil liburan bersama keluarga kita, meninggalkan hiruk pikuk kehidupan digital dan mendekatkan diri kita ke Tuhan melalui alam bebas.

Terakhir, tunjukkan kasih dan cinta yang tulus terhadap istrimu di depan anak-anak kita. Karena ini akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak-anak kita, dan menjadi modal mereka untuk berumah tangga satu hari kelak. Semakin baik seorang ayah berfungsi membesarkan, melindungi dan mendidik anak-anaknya, semakin sedikit ‘PR’ yang harus dikerjakan nanti untuk memulihkan dan meluruskan yang rusak dan bengkok. Setiap pria yang berniat, pasti bisa menjadi ayah yang baik dengan pertolongan Bapa di Sorga! - Tuhan memberkati. (P8)


Mark McClendon adalah Ketua Komisaris Yayasan CBN Indonesia. Bersama istrinya Ira Sekuntarwati dan ketiga orang anaknya, Holly, Cody, dan TJ, berjemaat di gereja IES (International English Service). Beliau adalah member FGBMFI Jakarta Kelapa Gading Chapter.


Sumber dari Voice FGBMFI Indonesia

 


Komentar

Postingan Populer